“ Kebahagiaan
sejati adalah belajar mencintai, bukan dicintai “ desahku pelan seraya menulis
kalimat tersebut di atas buku kuliahku.
Ya ! Memang benar, tak semua orang mampu ikhlas dalam urusan cinta.
Termasuk kemauan mereka untuk belajar mecintai, namun hal inilah yang menjadi
dasar seorang aku mencoba merangkai kalimat demi kalimat, hingga kuharap akan
memberi sebuah cerita yang telah terjadi dalam hidupku, meluruskan semua
tentang apa yang sebenarnya terjadi dalam kehidupan seorang “ aku “ kali ini, sebuah cerita tentang cinta, duka, air mata,
sahabat, penghianatan dan hinaan.
“ Ya Allah !
Berat……Apa yang harus hamba lakukan..?” Desahku pelan masih dalam posisi sujud,
pandangan mataku yang sayu kuarahkan tepat di jam dinding Masjid, dimana jarum
jam masih tetap berdetak tak terasa, karena kini setiap detak itu telah
terkalahkan oleh detak dalam jiwaku tentang apa yang harus aku lakukan, tentang
sebuah pilihan yang harus aku lakukan usai aku membaca secarik puisi yang dikirim
dari seorang gadis bernama Diana.
Berbagai pertanyaan
hanyut beriringan dalam benakku, membawaku dalam sesak yang terus menderu di
jiwa, semua terasa berat- berat bagiku yang sudah lama membuang cinta dalam
kehidupanku, berat bagiku yang memang enggan untuk mengenal cinta untuk saat
ini, namun aku sendiri heran ? Kenapa Diana terus menghantuiku, mengantuiku dengan
bait-baitnya yang membuat aku ngeri,
membuat aku takut jika aku sampai melukainya.
“ Kang ! Ada
apa ? Apa sampean punya masalah….Sudah
larut malam kok belum istirahat…!”
Aku tergagap
bingung, saat seseorang menyapaku pelan, menyadarkanku dari alam yang membuatku
terbang tinggi memikirkan tentang Diana yang menyatakan ia mencintaiku, sungguh
gadis yang berani.
“ Tidak Kang
! Aku cuma bingung aja..!” Balasku pelan seraya menatap Hilal yang baru datang
menyapaku, ia sahabatku, kami sangat akrab, walau umurnya jauh diatasku, tapi
ia mengerti semua yang aku rasakan, ia selalu setia mendengar semua curahan
hatiku serta semua cerita demi cerita yang terjadi dalam kehidupanku, dan
kurasa malam ini aku harus menceritakan tentang bait puisi dari Diana.
“ Bingung kenapa
lagi Kang ? “ tanya Hilal datar seraya membenahi letak kopiah dan surbannya.
“ Ini lo Kang
!” Balasku seraya mengulurkan secarik puisi. Hilal segera mengambil kertas yang
baru saja aku ulurkan, membacanya sejenak, lalu menarik nafas panjang.
“ Indah Kang..!”
Puji Hilal kagum.” Jadi ada orang yang suka sama sampean ya Kang !”
Aku
mengangguk membenarkan. “ Aku heran….Dia begitu berani menyatakan perasaannya
padaku…!”
“ Tapi ya ndak
apa-apa Kang……Dulu saja Khadijah berani menyatakan lamaran kepada Nabi Muhammad…Kan
ndak ada salahnya jika seorang perempuan menyatakan perasaannya kepada
lelaki…!”
“ Iya Kang…!
Tapi ?” Potongku datar.
“ Tapi kenapa
Kang ?”
“ Aku tidak
mencintainya Kang ! Dan aku takut
melukai gadis itu andai aku menolak pernyataan cintanya….Apalagi saat ini aku
sedang sibuk Kang…..Hapalan, diniyah,
kuliah, dan kurasa aku ndak ada waktu buat ngurusin tentang cinta….”
Hilal hanya
diam, ia menatapku tajam, seakan mengerti dengan apa yang aku rasakan.
“ Iya sampean benar…Tapi, apa salahnya jika
sampean belajar mecintainya ?”
“ Belajar mencintai
?” Aku balik menatap Hilal, Hilal mengangguk pelan, lalu tersenyum.
“ Sebaiknya kamu
memberi waktu kepada gadis itu….Hingga kamu bisa benar-benar mecintainya sepenuh
hati….Hingga kamu benar benar bisa menerimanya apa adanya…Setelah itu, semua
keputusan ada di tangan sampean…..Jika
sampean berhasil mecintai gadis
itu…..Ya jadikan dia kekasih sampean,
bahagiakan dia, dan jangan buat ia terluka..!”
Aku diam,
menimang-nimang jawaban yang baru saja Hilal utarakan, ia memang benar, belajar
mecintai dan jangan melukai, tapi apa itu mungkin ? Sulit, ya sulit bagiku
untuk belajar mecintai gadis yang belum begitu aku kenal, bait puisi yang tidak
hanya kali ini ia mengirimkan untukku.
”Sekarang lebih
baik sampean istokhoroh…Tentukan pilihan sampean….dan
saran saya, lebih baik sampean
belajar mecinta…..Walaupun hal itu tidakkah mudah !” ujar Hilal.
“ Iya Kang..!
Insya Allah..!”
*****
Hari-hari telah berlalu sosok sang pengirim
bait puisi akhirnya kuketahui, ya benar, ia adalah gadis yang dekat denganku,
dan aku berbicara banyak dengannya hanya lewat jaringan telepon, tapi kenapa ia
bisa mencintaiku ? Ah aneh..
“ Diana !”
Desahku pelan menyebut gadis yang kerap menulis puisi untukku, bahkan ia
terkadang menulis surat rindunya padaku, tapi sayang, aku sadari, hari-hari
yang kulalui tak sedetikpun mampu untuk mencintainya, namun aku akan berusaha, ya apa salahnya jika
aku berusaha untuk mecintai orang yang benar-benar mecintaiku ?
Itulah
sepenggal perjalanan kisah yang harus aku alamat untuk belajar mecintai, memang
belajar mencinta bukanlah hal yang mudah, sulit, sangat sangat sulit, namun waktu
yang telah membuat aku untuk mecintai gadis itu akhirnya datang juga, perlahan
hatiku terbuka untuk menerima sosoknya sebagai gadis yang aku cintai, apalagi
setelah aku melihat semua perjuangannya, setelah aku membaca bait-bait rindu
yang terkesan menyakitkan baginya,, karena aku sama sekali tidak pernah
membalas puisi maupun surat yang ia tulis untukku.
3 bulan
berlalu, 20 Ramadhan, akhirnya aku menerima pernyataan cinta gadis itu, aku
menerimanya sebagai kekasih, iapun sangat bahagia, benar-benar bahagia, dan saat
itu akupun kembali merasakan cinta yang begitu hebat setelah 3 bulan lamanya
aku berjuang untuk memahami Diana, berjuang untuk belajar mencintai Diana, dan
kuharap setelah ia menjadi kekasihku mulai saat ini, ia akan bisa menerimaku
apa adanya, ia akan bisa memahami semua sifatku sebagai Adam yang penuh
kekurangan.
Tapi sayang
! Semua yang kuharap tak terjadi, semua pupus sudah, kisah kami tak berlangsung
lama, hanya 9 hari, ya hanya 9 hari, kisah cinta tercepat yang pernah aku
alami, Diana mengakhiri hubungan kami, sebelumnya aku tidak terima atas
permintaan dia, namun aku sadari, kami sama-sama egois, banyak sifat kami yang
bertentangan dan tak mugkin disatukan,
apalagi orang tua Diana tampaknya tidak menyetujui hubungan kami, akupun bisa
terima dengan lapang dada, walaupun saat itu aku benar-benar terluka, hingga
akhirnya malam takbir yang seharusnya indah, menjadi suram, jiwaku tertekan
dengan apa yang telah aku alami selama 9 hari bersama Diana, jiwaku tertekan
karena benih cinta masih berkembang cepat, rindu tak pernah berkurang, namun
apa yang bisa aku lakukan ? Diana telah mengakhiri semuanya, dia yang telah
mengakhiri kisah cinta yang aku perjuangkan, dan kurasa ia tidak pernah tahu
betapa sulitnya dulu aku untuk belajar mecintainya, andai dia tahu, tentu dia
tidak akan mengakhiri kisah cinta ini dengan begitu cepatnya, 3 bulan aku
berusaha untuk mecintainya, dan dalam 9 hari cinta itu berakhir saat ia
memutuskan semuanya, aku tak bisa menyalahkannya, semua berawal dari ketidak
tahuan, dan karena ketidaktahuan Diana tentang perjuanganku untuk mecintainya
itulah ia mengakhiri cinta ini.
Dalam
sesakku, aku mencoba menerima semua, aku mencoba bersikap biasa terhadap Diana walapun
ada duka dalam jiwaku, sampai akhirnya jiwa dalam dukaku terasa lebih
menyakitkan dari seribu tusukan pisau saat aku mendengar dari sahabat Diana,
bahwa Diana sudah memiliki kekasih lagi 3 hari setelah kami mengakhiri
hubungan. Aku benar-benar tidak terima dengan semua itu, kebencianku terhadap Diana
memuncak, aku tak tahu apa yang harus aku lakukan lagi ! Kini cinta yang semula
bergejolak hebat berubah menjadi kebencian yang membanjiri hatiku, meluap hebat
dengan ombaknya yang maha dahsyat, sebenarnya aku enggan memiliki kebencian
ini, tapi apa yang bisa kulakukan, aku hanya manusia biasa, cinta yang dalam
akhirnya berubah menjadi kebencian yang mebakar jiwaku.
Seketika aku
teringat pesan dari Hilal, “ Janganlah kamu terlalu mecintai seseorang, karena
suatu saat kamu bisa membencinya, dan jangan pulalah kamu terlalu membeci
seseorang, karena bisa saja kelak ia menjadi kekasihmu !”
Benar, benar
apa yang dikatakan Hilal, aku yang semula benar-benar mecintai Diana, akhirnya
hanya bisa memendam kebencianku dalam-dalam, kebencianku betapa mudahnya ia
memainkan cinta, betapa mudahnya ia melakukan semua hal yang membuat jiwaku
terluka, ah Tuhan ! Apa salah hamba !
****
Malam masih
tampak indah dengan sinar rembulan yang bertahta malam itu, bayangan Diana tak
lepas dari diriku, namun bukan bayangan rindu seperti hari-hari yang lalu saat
aku masih bersamanya, melainkan bayangan duka dan benci atas apa yang telah ia
lakukan dalam hidupku.
“ Ya Allah..!
Maafkan hamba..!” Desahku pelan seraya mengambil HP-ku yang baru saja bergetar,
ada sebuah panggilan masuk dari sahabat Diana, Via.
“ Assamu’alaikum..!” Ujar Via dari
sebrang, entah dimana.
“ Wa’alaikum salam…Ada apa Dek ?” Balasku datar, memanggil Via dengan
embel-embel “Dek”, walau aku mengenal Via hanya lewat telepon, bahkan aku juga
belum mengetahui bagaimana wajah Via, tapi kami berdua sudah sangat dekat, ia
biasa bercerita kepadaku tentang keluarganya, begitupun diriku yang biasa
bercerita tentang bahagia dan juga lukaku, dan mungkin malam ini aku akan menceritakan
lukaku yang mendalam karena Diana.
“ Ndak Mas….Mas
lagi ngapaian ? “
Aku diam
sejenak, menarik nafas panjang, mencoba meredam amarah yang telah membuat air
mataku meleleh cepat.
“ Ndak lagi
ngapa-ngapain…Cuma lagi sedih aja..!”
“ Apa masih
mikiran Diana ta Mas ?”
“ Iya…Aku benar
benar tidak terima dengan apa yang telah ia lakukan..Kenapa dengan mudahnya ia
menyatakan cinta kepadaku, lalu ia juga yang mengakhiri…dan dalam hitungan hari
ia sudah mendapatkan kekasih yang lain….Sungguh…Aku tidak terima ..Aku
membencinya Dek..!”
“Astaghfirullah Mas… ..Istighfar..!
Tidak baik kita terlalu membenci seseorang….Lebih baik mas berfikir positif
saja dahulu…Siapa tahu Diana melakukan semua itu karena ia juga terluka, sama
seperti Mas..! “
“ Tapi jika
ia memang terluka, tidak seharunya ia menambah luka dalam jiwaku..!”
Via hening,
tampaknya ia bingung dengan kalimat yang baru saja aku katakan.
“ Kenapa sampean diam ?”
“ Tidak Mas…Maafkan
Via ya Mas.. Kalau Via terlalu ikut campur..!”
Setelah
pembicaraan malam itu, Via selalu mecoba menenangkanku, ia selalu menasehati dengan
kalimat-kalimat petuahnya, ia yang menyadarkanku bahwa tidak baik bagiku untuk
terus membenci Diana, ia pula yang memberi solusi agar aku bisa lebih tenang
dan kembali bersikap biasa kepada Diana.
Hari demi
haripun berlalu, aku kagum dengan sikap Via yang tampak dewasa, sampai akhirnya
aku meminta ia mengirim foto kepadaku, ia memenuhinya dan betapa terkejutnya
aku saat ternyata Via adalah ?
Gadis yang pernah bertemu denganku sekitar setahun yang lalu saat
di sekolah, ….kami pernah bertemu dua kali…dan aku menyukainya…aku
meyayanginya..namun aku tidak menyangka, kalau kenyataannya Via adalah sahabat Diana,
lalu apa yang harus aku lakukan dengan cinta yang sempat terkubur karena waktu
belum mengizinkan untuk bertemu, dan kini waktu telah mengizinkanku untuk
kembali bertemu dan bersapa dengan gadis yang pernah aku suka setahun lalu, apa
yang harus aku lakukan ? Apa yang harus aku lakukan kala cinta lama telah
bersemi kembali dengan indahnya ?
Tuhan…Apa yang
harus hamba lakukan ! Semua yang terjadi diluar kehendak hamba, hamba lemah,
hamba tiada mampu mengatur hati hamba, Engkaulah yang memberi hamba cinta, Engkau
juga yang memberi hamba kebencian.
Tuhan,,,Engkaulah
yang memberi hamba cinta kepada Diana, Engkau jua yang membuat hamba membecinya
? Tuhan….Hapuslah benci ini, biarlah hati ini melupakan semua luka yang telah Diana
beri….Tuhan…..Kenapa ? Kenapa Engkau berikan hati ini cinta untuk Via, cinta
yang telah lama ada, kenapa harus menjadi sahabat Diana ? Apa yang harus hamba
lakukan Tuhan….Apa yang harus hamba perbuat dengan cinta ini ?
Tuhan
dengarkan pinta hamba ! Jika Via memang gadis yang terbaik untuk hamba, maka
dekatkanlah kami namun jika ia bukan jodoh hamba, maka jauhkanlah hamba dari
dia…
*****
1 September.
Malam
terindah dimana aku telah banyak membagi kisah dengan Via, dimana aku mencoba
memahami sosok Via semampuku, sampai akhirnya aku benar benar bisa menerimanya
dengan semua kekurangannya, hingga malam itulah
aku benar-benar menyatakan perasaanku yang sesungguhnya.
“ Via..!” Panggilku
liirh dari balik telepon, entah dimana sosok anggun Via berada, namun yang
jelas raut wajah ayunya masih jelas terekam dalam jiwaku, membawa sebuah
kerinduan yang kurasa tiada akan pernah berakhir.
“ Iya Mas….Enten nopo !” Balas Via lembut, aku
terhenyak pelan, sungguh berbeda jiwaku kala aku berbicara dengan Via walau
hanya lewat telepon, hatiku bersorak bahagia, benar-benar bahagia, ingin
rasanya cepat-cepat aku menyatakan bahwa aku mecintainya, ingin rasanya aku mengatakan
bahwa aku telah mecintainya sejak lama, sejak aku bertemu dengannya tanpa
sengaja setahun lalu, tapi seketika, bayangan tentang Diana kembali menghantui,
kembali menyiksaku, aku bimbang, aku bingung dengan apa yang harus aku lakukan
saat ini, aku takut jika aku benar-benar menyatakan cintaku pada Via, aku akan
merusak hubungan persahabatan Diana dan Via, tapi jika aku menyimpan cintaku
untuk Via, jiwaku pasti akan terluka lebih dalam lagi, ya Allah ! Apa yang harus
hamba lakukan.
“ Mas…Ada apa
? Sudah larut malam lo….Kok belum tidur !”
Aku tergagap
bingung, suara indah Via membuyarkan lamunanku, hatiku yang semula yakin untuk
menyatakan cinta kepada Via, kini kembali meragu, semua terasa hampa.
“ Apa yang harus
aku lakukan ?” Ujarku datar seraya menatap lugu kearah awan yang menghitam,
dimana bintang gemintang bertaburan indah di atas sana, dimana rembulan seakan
tersenyum untukku, seakan menyuruhku untuk segera menyatakan cinta kepada Via,
bahkan kurasa angin malampun tak sabar ingin menyampaikan salam rinduku untuk Via,
dan akupun hanya bisa mendesah dalam keraguan, bimbang menentukan pilihan dalam
hidupku, pilihan antara luka dan bahagia.
“ Dek….Apa kamu
sekarang melihat Rembulan ?” Tanyaku datar, pandanganku masih tetap tertuju ke arah Rembulan yang bersinar Sempurna,
indah.
“ Enjeh Mas…..Indah
ya ! Via sekarang sedang bersama sahabat sahabat Via di alun-alun……Sedang istirahat untuk perjalan kembali ke Pesantren…!”
Aku terdiam
mendengar jawaban Via, kusadari malam ini adalah malam perpisahan untukku dan
juga Via, malam terakhir dimana aku akan bercanda dengan Via, malam terakhir
aku mendengar celotehannya yang menarik dan asyik, dan malam terakhir serta
kesempatan terakhirku untuk menyatakan rinduku, atau tidak untuk selamanya,
seketika aku teringat sebuah syair yang kudapatkan dari sebuah buka.
“ Orang terbodoh,
adalah orang yang menyatakan cinta di atas nisan orang yang ia cintai !”
Ya ! Hatiku
yang semula ragu, kini perlahan mulai kembali membangun istana keyakinan,
istana yang berhias kerinduan dan cinta yang akan aku nyatakan pada Via.
“ Dek……..Apa
kamu mau menjadi Rembulan ?” Tanyaku
datar, kurasa diujung sana Via juga tengah memandang rembulan yang tersenyum
untukku malam ini, mencoba menghapus dukaku yang masih terasa karena cinta,
kurasa Via tengah menampakkan senyum manis, senyum manis yang masih kuingat
jelas, walau mungkin aku pernah bertemu dengannya beberapa bulan yang lalu.
“ Ingin Mas…….!
Kalau Mas ingin menjadi apa ?”
“ Kalau Mas ingin
menjadi angin…Soalnya dengan menjadi angin, Mas bisa berada kapan dan dimanapun
untuk orang-orang yang Mas sayangi…Mas bisa bersama mereka walau mungkin
keberadaan Mas tidak mereka temui….Tapi Mas akan selalu ada di sekeliling
mereka…Karena Mas adalah angin..!”
“ Indah Mas…!”
Puji Via, aku tersenyum simpul seraya menarik nafas panjang, mencoba
menenangkan gemuruh dalam jiwaku.
“ Dek…..Bolehkah
mas bertanya ?”
“ Silahkan
Mas…!”
“ Apa di
hati sampean ada sebuah nama yang sampean rindu ?” Tanyaku gugup, kurasa Via
menyadari kegugupanku.
Hening, Via diam
sejenak, sampai akhirnya dia membalik pertanyaan kepadaku.” Kalau dihati Mas…Apa
ada seorang gadis yang Mas rindu ?”
Aku
tercekat, tidak menyangka Via memalik pertanyaan, hatiku seketika kembali
bimbang, teringat Via adalah sahabat Diana, dan kurasa tidak mungkin bagiku
untuk menyatakan perasaan yang terpendam sejak lama sebelum aku mengenal Diana,
sebelum Diana menyatakan cinta kepadaku, sebelum aku berkorban untuk belajar
mecintai Diana, sampai akhirnya aku yang sudah benar-benar mencintai Diana,
justru ia mengakhiri semua karena ketidak cocokan kami, dan dengan mudahnya
dalam waktu yang singkat ia mencari sosok yang lain untuk ia cinta, sungguh
hatiku benar-benar terluka.
“ Ada….Sebuah
gadis yang pernah Mas temui sekitar setahun lalu saat di sekolah…dan juga gadis
yang pernah menyapa Mas dengan senyuman indahnya..!” Balasku datar dengan
kalimat sederhanaku.
“ Siapa nama
gadis itu Mas ? Kalau boleh tahu sih..!”
Aku hening,
bibirku terkatup rapat, perlahan aku membaca istighfar berkali kali, lalu membaca basmalah dalam sekali tarikan nafas beriring bibirku yang menyebut
sebuah nama yang indah. Nama yang telah mengusik di kedalaman jiwaku, nama yang
membuat aku kembali merasakan cinta, walau mungkin cinta telah melukaiku.
“ Afiya
Zahratul Ulya !”
Tanpa ragu,
kusebut nama panjang Via, nama gadis yang kini tengah berbicara denganku lewat
telepon, akupun hanya mampu hening, sungguh aku tidak mengharapkan balasan
bahwa Via juga akan mecintaiku, ia juga akan merinduku, namun setidaknya malam
itu aku sudah tenang, karena aku masih diberi kesempatan oleh Allah untuk
menyatakan cinta kepada orang yang benar-benar kucintai, daripada aku hanya
menyimpan cinta yang hanya akan kembali melukai jiwaku.
“ Mas….Di dalam
jiwaku juga ada sebuah nama ! Nama lelaki yang entah kenapa aku bisa mencintainya….Nama
lelaki yang entah kenapa dengan mudahnya ia menjadi lelaki pertama yang pernah
kurindu….Lelaki pertama yang pernah aku cintai..!”
“ Siapakah dia
Dek ? “ potongku, hatiku berdebar cepat, ingin segera mengetahui siapakah
lelaki yang dicintai Via, walau mungkin aku sedikt kecewa andai pernyataan
cintaku hanya menjadi sebuah laporan tanpa jawaban.
“ Lana Zidan
Ahmad Nawir Faza!”
Aku
terhenyak dalam syukurku, entah apa yang kurasakan malam itu saat Via menyebut
nama panjangku, saat Via menyatakan bahwa ia juga mencintaiku.
“ Dek……Bolehkan
malam ini aku melamarmu kepada Tuhanku…….Biar para malaikat malam yang akan
menjadi saksi bahwa aku mecintaimu…Bahwa aku ingin menjadi kekasihmu..! Apakah
boleh ?”
“ Iya Mas…….
!”
“ Apakah kamu
siap…Menemani dan menyembuhkan luka yang kini bergelimang di dalam jiwa ini..!”
“ Insya Allah…Via siap Mas…!”
“ Terima kasih
kasih……Mulai malam ini, aku ingin mengetahui
bahwa aku mencintaimu…dan Insya Allah akan selalu merindumu..!”
“ Aku juga
mas…Via juga mecintai Mas…Terima kasih..!”
Aku diam,
hanyut dalam bahasa yang tak kumengerti, ada bahagia dan duka yang melebur
malam itu, bahagia karena cinta lama kembali hadir dan bersambut dengan
indahnya, namun duka dan ketakutan juga menyeling saat aku menyadari bahwa Via
adalah sahabat Diana, namun apa yang bisa kulakukan malam itu selain
memasrahkan cinta kepada Dia Sang Maha Cinta, dia yang telah memberi cinta
dihatiku dan hati Via, dia juga yang telah memberi jalan cinta bagiku dan Via di malam ini, dan untuk
selanjutnya aku tidak mengerti apa yang akan terjadi, apakah akan ada duka yang
lebih mendalam ? Atau akan ada air mata yang meleleh dengan derasnya ? Atau
mungkin akan ada perpisahan…Namun aku hanya hamba lemah, hamba yang hanya mampu
beserah dengan semua yang aku alami, hamba yang hanya mampu tawakal kepada Dia yang
telah mengatur semua ini.
Dan inilah
sebuah falsafah cinta yang harus aku yakini dan aku jalani, bukan hanya diriku,
tapi semua yang ingin mengenal cinta lebih dalam, dimana setiap orang yang
mecintai, maka ia berhak menyatakan cinta, menolak dan menerimanya, dimana saat seseorang mencintai dan
mengingkrar janji, maka ia harus siap meneteskan air mata kala janji tak mampu
tertepati, dimana di setiap seseorang mecinta dan bahagia, maka ia harus siap
terluka dalam duka, dimana ketika seseorang mencintai dan memiliki, maka ia
harus siap kehilangan, dimana setiap orang yang mencintai dan saling menjaga,
maka ia harus siap dan bertahan kala ia diacuhkan, dimana kala seseorang
mecinta dan mengerti, maka ia harus siap jua untuk tak mengerti, dimana setiap
jiwa yang mencinta dan menunggu, maka ia harus siap kala sosok yang dicinta tak
lagi bersama untuk sekarang dan selamanya.
“ Dan untuk
selanjutnya cinta…Seorang aku tiada mengerti….Hanya Dia yang lebih mengerti
tentang semua…Wallahua’lam..!”
13/03/13