Entah kemana aku harus menentukan tujuanku kali ini. Dengan kecepatan melebihi kilatan cahaya aku menuju sebuah tempat di Pesantren, ada seseorang yang sangat ingin kutemui, seorang yang selalu menangis mengadu kepada Tuhannya, Tuhanku dan Tuhan semua-allah. Tapi bukan lelaki yang kini masih sibuk dalam dzikirnya di asrama Negaran salah satu Kiai, tak peduli dengan tubuh letihnya setelah seharian berkerja demi mengabdi kepada sang Kiai, Sedangkan sahabat-sahabatnya memilih untuk terlelap, jarang sekali terbangun malam karena beralasan capek, seakan tak peduli dengan catatan kematian yang kugenggam di tanganku, padahal salah satu nama dalam daftar itu tentu ada nama mereka, mereka semua yang hanya menghabiskan malam dalam buaian mimpi, sementara mereka tidak tahu kapan mereka akan kuajak untuk kembali kepada-Nya ? Siangkah ? atau malam ? Bagaimana jika aku menjemput mereka saat malam hari saat mereka tengah larut dalam mimpi indah sesuai catatanku, apa mereka tidak takut ? Tapi aku malaikat, dan mereka manusia. Aku dan juga semua tidak akan pernah tahu rencana Tuhan selanjutnya.
Kini ada sesuatu yang membuatku harus kembali ke tempat yang tidak jauh dari maqam almarhum Kiai Muhtar, tempat dimana pertama kali aku bertemu seorang pemuda yang telah menuliskan catatan tentangku. Aku kembali melaju cepat, Sampai akhirnya kuakhiri perjalananku. Kusamarkan diriku menjadi seorang gadis yang tentu akan terlihat sangat anggun bagi manusia, dan aku telah berdiri di sebuah ndalem yang sebagian ruangannya diubah menjadi Asrama untuk beberapa Santriwati yang masih duduk di bangku Aliyah.
Pandanganku membeku, menatap gadis yang kini terus terlarut dalam sujudnya sejak beberapa menit lalu. Lumayan lama, air matalah yang selalu mengiringi dalam setiap pengaduannya. Kuhampiri gadis itu, menyapanya ramah, berharap ia tidak takut denganku yang tiba-tiba muncul menyapanya kala malam sudah semakin larut.
Itulah rencana tuhan, gadis itu membalas sapaan ramahku, tidak ada rasa takut yang ia tampakkan, seakan ia mengenalku. ia mencoba tersenyum ramah seraya mengusap air mata, tapi duka tetap tampak dari setiap raut wajah ayunya.
Namun aku terkejut, karena dengan tiba-tiba ia memanggilku " Aliya ". Aku sempat heran, tapi perlahan aku sadar, mungkin wajahku mirip dengan salah satu santri putri yang juga telah menjadi sahabatnya. Akupun mengangguk, mengaku sebagai Aliya, berharap aku bisa mendengar cerita tentangnya, tentang gadis itu, yang mengenalkan dirinya sebagai "Syahlatus Syafa ". Kuputuskan untuk memanggilnya " Syahla". Nama yang indah.
" Mbak Syahla…….Apa yang terjadi dengan sampean ?" kuajukan sebuah pertanyaan dengan memanggilnya dengan embel-embel " Mbak" sesuai adat yang diajarkan di Pesantren agar terjadi rasa saling menghormati antara Santriwati. Tak peduli berapapun perbedaan umur mereka.
Ia tiba-tiba kembali terisak tanpa menjawab pertanyaanku, tampaknya ada duka yang telah lama ia sembunyikan, tapi aku kagum, ia bisa menyembunyikan dukanya selama ini, hanya mengadukan kepada Dzat yang maha agung, karena hal itulah aku memutuskan untuk menemuinya malam ini.
Ia masih terisak, aku mencoba menenangkannya. Andai ia tahu siapa aku sebenarnya ? Tentu ia akan takut, dengan penyamaranku, aku akan bisa mengerti perasaan seorang manusia, khususnya Syahla.
Setelah ia agak tenang, ia mengangkat wajahnya, lalu menceritakan sebuah kisah tentang Ayahnya.
****
Aku adalah gadis yang terlahir tanpa pernah merasakan kasih sayang ibu. Tanpa pernah tahu bagaimana wajah seorang ibu. Aku hanya hidup bersama ayah, lelaki yang telah memberikan cinta dan merawatku hingga kini. Tapi dua tahun lalu ayah berubah total, Sosok penyabar yang dulu ada, kini hilang. Ayah kerap melakukan kekerasan kepadaku, bahkan tak jarang ayah menghukum tanpa pernah aku tahu apa kesalahanku.
Sejak saat itu, aku memutuskan kabur dari rumah , lalu tinggal bersama Bibi Fatma, Sampai akhirnya Bibi Fatma mengirimku untuk menjadi santri di Pesantren ini.
Jadi sejak itu aku tidak lagi berhubungan dengan ayah. Ayah seakan menghilang di telan bumi, jujur....Sebagai seorang anak yang membenci ayahnya, aku juga merindukan tatapan hangat serta pelukannya. Hingga akhirnya terkadang aku menanyakan kabar ayah kepada Bibi Fatma, namun Bibi dengan ketus menjawab :
" Buat apa kamu memikiran ayahmu yang sudah tidak peduli kepadamu…Lebih baik sekarang kamu fokus dengan belajarmu…Kejarlah impianmu, Biarlah ayahmu pergi sesukanya….! Mana ada ayah yang jahat sama anaknya… "
Sebuah jawaban yang membuat jiwaku teriris dalam. Namun jawaban Bibi ada benarnya, jika ayah masih menyayangiku tentu ayah akan menjengukku, tapi kenyataannya sudah dua tahun aku tak melihat ayah. Dimana keberadaan ayah ? Akupun tak lagi memperdulikannya, aku mencoba untuk tetap membencinya walau terkadang jiwaku terpuruk dalam kerinduan sebagai seorang anak. Ayah ! Lelaki bernama Hasan yang dulu kupuja, kini menjadi lelaki yang tak kupahami. Bahkan mungkin saja telah menjadi lelaki yang kubenci.
****
Kisah yang membuatku berkali-kali menarik nafas dalam. Sejenak, Syahla memejamkan matanya, berat. Saat ia terpejam itulah, aku menghilang dari hadapannya secepat kerjapan mata syahla.
Saat itu aku menerobos ke sebuah tempat, sebuah tempat dimana aku masuk menjadi salah satu dari dua orang yang tengah berdialog di sebuah ruangan serba putih. Rumah sakit. Salah satu dari dua orang itu tengah terbaring tak berdaya, matanya cekung, bibirnya pucat, tubuhku kurus, bahkan kini tak sehelai rambutpun yang tumbuh di kepalanya. Kanker, penyakit itulah yang diderita lelaki itu, bahkan dokter memvonis umurnya tinggal menghitung hari. Walaupun kita tidak tahu kapan ajal manusa datang.
" Mas Hasan….Apa tidak sebaiknya, nduk Syahla kita beritahu yang sebenarnya tentang keadaan Mas ? Fatma bosan dengan semua kebohongan ini….!"
" Tidak Ndok…..Kita harus tetap bertahan dalam kebohogan ini….Biarkan Syahla mengejar impiannya…Biarkan ia hidup walau harus membenci Mas sebagai ayahnya…. Lebih baik Syahla hidup dalam kebencian dan tetap kuat, daripada harus bersedih dan kalah …Setelah Mas pergi nanti, Tolong jaga Syahla…Dan pesanku, jangan pernah ceritakan apa yang telah terjadi dengan Mas.."
" Njeh Mas…Insya Allah..!"
****
Syahla membuka mata pelan, lalu menatapku. Kuulas sebuah senyum ketegaran untuknya. Berharap ia akan tetap menjadi wanita yang kuat, lalu kubisikkan kalimat sederhana untuknya, kalimat yang kurasa ia akan memahaminya kelak.
" Tidak ada yang bisa mengubah takdir……Tapi yakinilah, bahwa orang yang telah mencintaimu pasti akan selalu mencintaimu, sekiranya kebencian telah menjadi akar yang menopang cinta… Hidup dalam kebencian dan tetap kuat akan menjadi pilihan terbaik, daripada harus hidup dalam cinta, lalu kalah…!"
Syahla mengangguk pelan, lalu mengulas senyum. Kuberikan kembali beberapa kalimat keyakinan bahwa ia bisa menjalani semua kisah hidupnya yang penuh duka. Sampai akhirnya ia kembali larut dalam sujud dan doanya. Aku berpamitan, berjalan jauh meninggalkan Syahla.
Namun dari kejauhan kulihat seorang pemuda berjalan tidak jauh dari asrama di ndalem tersebut, pemuda itu menatap Syahla sejenak, Syahla yang menyadari kehadiran pemuda tersebut tersenyum seraya menyebut sebuah nama.
" Mas Adam..!"
Adam hanya berlalu, ia tak tahu apa yang telah terjadi. Karena jiwanya masih sangat terluka akan apa yang telah terjadi dalam hidupnya. Hingga ia hanya bisa acuh. Seakan tak mengerti bukan hanya jiwanya yang terluka, tapi juga jiwa gadis yang ia kenal beberapa hari lalu usai Lomba RMI. Syahla, sahabat Fahri.
Aku segera menghilang dalam malam yang tinggal beberapa menit menjemput fajar. Tidak akan pernah tahu akan apa yang terjadi dengan dua kerinduan di dua jiwa anak adam tersebut. Dua jiwa yang terluka karena rindu yang berbeda. Dan aku berharap akan ada kisah indah selanjutnya ? Semoga saja….
****
Kutatap pemuda yang kini masih duduk di batu hitam di taman Maqam. Pandangannya membeku, sampai akhirnya ia menuliskan beberapa kalimat di selembaran kertas putih yang ia selipkan di dalam mushaf-nya sebagai pembatas.
" Jikala membenci orang yang kita cinta membuatnya bahagia, maka lakukanlah ! Daripada tetap mencintainya, sedangkan ia terluka dan kalah karena cinta tersebut….
" Mencintai tidak cukup dengan menyayangi, berbagi dan terus bersama, akan tetapi berkorban untuknya adalah hal terpenting, walau kita harus menjadi orang terburuk baginya.
" Tetap tersenyum dan semangat dengan semua yang terjadi, walau mungkin luka akan tetap ada. Namun sebuah senyuman mampu merubah semuanya…
To be Continue…. Catatan Izra'il Part 4.
Kini ada sesuatu yang membuatku harus kembali ke tempat yang tidak jauh dari maqam almarhum Kiai Muhtar, tempat dimana pertama kali aku bertemu seorang pemuda yang telah menuliskan catatan tentangku. Aku kembali melaju cepat, Sampai akhirnya kuakhiri perjalananku. Kusamarkan diriku menjadi seorang gadis yang tentu akan terlihat sangat anggun bagi manusia, dan aku telah berdiri di sebuah ndalem yang sebagian ruangannya diubah menjadi Asrama untuk beberapa Santriwati yang masih duduk di bangku Aliyah.
Pandanganku membeku, menatap gadis yang kini terus terlarut dalam sujudnya sejak beberapa menit lalu. Lumayan lama, air matalah yang selalu mengiringi dalam setiap pengaduannya. Kuhampiri gadis itu, menyapanya ramah, berharap ia tidak takut denganku yang tiba-tiba muncul menyapanya kala malam sudah semakin larut.
Itulah rencana tuhan, gadis itu membalas sapaan ramahku, tidak ada rasa takut yang ia tampakkan, seakan ia mengenalku. ia mencoba tersenyum ramah seraya mengusap air mata, tapi duka tetap tampak dari setiap raut wajah ayunya.
Namun aku terkejut, karena dengan tiba-tiba ia memanggilku " Aliya ". Aku sempat heran, tapi perlahan aku sadar, mungkin wajahku mirip dengan salah satu santri putri yang juga telah menjadi sahabatnya. Akupun mengangguk, mengaku sebagai Aliya, berharap aku bisa mendengar cerita tentangnya, tentang gadis itu, yang mengenalkan dirinya sebagai "Syahlatus Syafa ". Kuputuskan untuk memanggilnya " Syahla". Nama yang indah.
" Mbak Syahla…….Apa yang terjadi dengan sampean ?" kuajukan sebuah pertanyaan dengan memanggilnya dengan embel-embel " Mbak" sesuai adat yang diajarkan di Pesantren agar terjadi rasa saling menghormati antara Santriwati. Tak peduli berapapun perbedaan umur mereka.
Ia tiba-tiba kembali terisak tanpa menjawab pertanyaanku, tampaknya ada duka yang telah lama ia sembunyikan, tapi aku kagum, ia bisa menyembunyikan dukanya selama ini, hanya mengadukan kepada Dzat yang maha agung, karena hal itulah aku memutuskan untuk menemuinya malam ini.
Ia masih terisak, aku mencoba menenangkannya. Andai ia tahu siapa aku sebenarnya ? Tentu ia akan takut, dengan penyamaranku, aku akan bisa mengerti perasaan seorang manusia, khususnya Syahla.
Setelah ia agak tenang, ia mengangkat wajahnya, lalu menceritakan sebuah kisah tentang Ayahnya.
****
Aku adalah gadis yang terlahir tanpa pernah merasakan kasih sayang ibu. Tanpa pernah tahu bagaimana wajah seorang ibu. Aku hanya hidup bersama ayah, lelaki yang telah memberikan cinta dan merawatku hingga kini. Tapi dua tahun lalu ayah berubah total, Sosok penyabar yang dulu ada, kini hilang. Ayah kerap melakukan kekerasan kepadaku, bahkan tak jarang ayah menghukum tanpa pernah aku tahu apa kesalahanku.
Sejak saat itu, aku memutuskan kabur dari rumah , lalu tinggal bersama Bibi Fatma, Sampai akhirnya Bibi Fatma mengirimku untuk menjadi santri di Pesantren ini.
Jadi sejak itu aku tidak lagi berhubungan dengan ayah. Ayah seakan menghilang di telan bumi, jujur....Sebagai seorang anak yang membenci ayahnya, aku juga merindukan tatapan hangat serta pelukannya. Hingga akhirnya terkadang aku menanyakan kabar ayah kepada Bibi Fatma, namun Bibi dengan ketus menjawab :
" Buat apa kamu memikiran ayahmu yang sudah tidak peduli kepadamu…Lebih baik sekarang kamu fokus dengan belajarmu…Kejarlah impianmu, Biarlah ayahmu pergi sesukanya….! Mana ada ayah yang jahat sama anaknya… "
Sebuah jawaban yang membuat jiwaku teriris dalam. Namun jawaban Bibi ada benarnya, jika ayah masih menyayangiku tentu ayah akan menjengukku, tapi kenyataannya sudah dua tahun aku tak melihat ayah. Dimana keberadaan ayah ? Akupun tak lagi memperdulikannya, aku mencoba untuk tetap membencinya walau terkadang jiwaku terpuruk dalam kerinduan sebagai seorang anak. Ayah ! Lelaki bernama Hasan yang dulu kupuja, kini menjadi lelaki yang tak kupahami. Bahkan mungkin saja telah menjadi lelaki yang kubenci.
****
Kisah yang membuatku berkali-kali menarik nafas dalam. Sejenak, Syahla memejamkan matanya, berat. Saat ia terpejam itulah, aku menghilang dari hadapannya secepat kerjapan mata syahla.
Saat itu aku menerobos ke sebuah tempat, sebuah tempat dimana aku masuk menjadi salah satu dari dua orang yang tengah berdialog di sebuah ruangan serba putih. Rumah sakit. Salah satu dari dua orang itu tengah terbaring tak berdaya, matanya cekung, bibirnya pucat, tubuhku kurus, bahkan kini tak sehelai rambutpun yang tumbuh di kepalanya. Kanker, penyakit itulah yang diderita lelaki itu, bahkan dokter memvonis umurnya tinggal menghitung hari. Walaupun kita tidak tahu kapan ajal manusa datang.
" Mas Hasan….Apa tidak sebaiknya, nduk Syahla kita beritahu yang sebenarnya tentang keadaan Mas ? Fatma bosan dengan semua kebohongan ini….!"
" Tidak Ndok…..Kita harus tetap bertahan dalam kebohogan ini….Biarkan Syahla mengejar impiannya…Biarkan ia hidup walau harus membenci Mas sebagai ayahnya…. Lebih baik Syahla hidup dalam kebencian dan tetap kuat, daripada harus bersedih dan kalah …Setelah Mas pergi nanti, Tolong jaga Syahla…Dan pesanku, jangan pernah ceritakan apa yang telah terjadi dengan Mas.."
" Njeh Mas…Insya Allah..!"
****
Syahla membuka mata pelan, lalu menatapku. Kuulas sebuah senyum ketegaran untuknya. Berharap ia akan tetap menjadi wanita yang kuat, lalu kubisikkan kalimat sederhana untuknya, kalimat yang kurasa ia akan memahaminya kelak.
" Tidak ada yang bisa mengubah takdir……Tapi yakinilah, bahwa orang yang telah mencintaimu pasti akan selalu mencintaimu, sekiranya kebencian telah menjadi akar yang menopang cinta… Hidup dalam kebencian dan tetap kuat akan menjadi pilihan terbaik, daripada harus hidup dalam cinta, lalu kalah…!"
Syahla mengangguk pelan, lalu mengulas senyum. Kuberikan kembali beberapa kalimat keyakinan bahwa ia bisa menjalani semua kisah hidupnya yang penuh duka. Sampai akhirnya ia kembali larut dalam sujud dan doanya. Aku berpamitan, berjalan jauh meninggalkan Syahla.
Namun dari kejauhan kulihat seorang pemuda berjalan tidak jauh dari asrama di ndalem tersebut, pemuda itu menatap Syahla sejenak, Syahla yang menyadari kehadiran pemuda tersebut tersenyum seraya menyebut sebuah nama.
" Mas Adam..!"
Adam hanya berlalu, ia tak tahu apa yang telah terjadi. Karena jiwanya masih sangat terluka akan apa yang telah terjadi dalam hidupnya. Hingga ia hanya bisa acuh. Seakan tak mengerti bukan hanya jiwanya yang terluka, tapi juga jiwa gadis yang ia kenal beberapa hari lalu usai Lomba RMI. Syahla, sahabat Fahri.
Aku segera menghilang dalam malam yang tinggal beberapa menit menjemput fajar. Tidak akan pernah tahu akan apa yang terjadi dengan dua kerinduan di dua jiwa anak adam tersebut. Dua jiwa yang terluka karena rindu yang berbeda. Dan aku berharap akan ada kisah indah selanjutnya ? Semoga saja….
****
Kutatap pemuda yang kini masih duduk di batu hitam di taman Maqam. Pandangannya membeku, sampai akhirnya ia menuliskan beberapa kalimat di selembaran kertas putih yang ia selipkan di dalam mushaf-nya sebagai pembatas.
" Jikala membenci orang yang kita cinta membuatnya bahagia, maka lakukanlah ! Daripada tetap mencintainya, sedangkan ia terluka dan kalah karena cinta tersebut….
" Mencintai tidak cukup dengan menyayangi, berbagi dan terus bersama, akan tetapi berkorban untuknya adalah hal terpenting, walau kita harus menjadi orang terburuk baginya.
" Tetap tersenyum dan semangat dengan semua yang terjadi, walau mungkin luka akan tetap ada. Namun sebuah senyuman mampu merubah semuanya…
To be Continue…. Catatan Izra'il Part 4.
0 komentar:
Posting Komentar