Sabtu, November 30, 2013

Surga di Telapak Kaki Ayah

 Aku memandang lelaki tua yang kini berdiri mematung di jembatan pemisah antara desa Bendungan, dengan desa sebelah, desa Bengkle. Lelaki itu tampak menyelipkan resah dalam setiap pandangannya yang tampak semakin sayu, mengiringi resah dalam hatinya yang terus menekan batin, membuatnya terasa enggan untuk terus bertahan hidup saat itu, di saat usia tuanya, hidup dibalik tubuh renta yang kini tak mampu melakukan kegiatan seperti dulu bahkan tak jarang tubuh renta itu jatuh sakit dan harus terbaring lama untuk menunggu sembuh.


Lelaki tua renta itu adalah Ayahku, Ayah yang sangat aku cintai dan hargai, Ayah yang mendidik dan membesarkanku dengan segenap kasih sayangnya. Ayah yang telah mengajarkan aku banyak hal. Hingga kini aku beranjak dewasa, menjalani kisah sebagai sosok seorang anak.


Aku memang bahagia memiliki Ayah yang sangat mencintaiku, namun jauh di lubuk hatiku, aku juga merindukan sosok yang tak pernah aku temukan senyumannya selama ini, ibu. Ibulah sosok yang kurindu, aku benar-benar ingin bertemu dengan ibu, ibu yang telah melahirkanku.


 Suatu hari aku pernah bertanya kepada Ayah tentang keberadaan ibu, namun setiap kali aku bertanya tentang ibu, Ayah selalu diam, tak satu jawabanpun ia keluarkan untuk menghapus rinduku pada ibu, Ayah hanya diam, aku mencoba bersabar dengan kediaman Ayah, namun ternyata kesabaranku sudah habis saat rindu benar-benar menyiksa batinku, aku memaksa Ayah untuk memberi tahu di mana ibu, bahkan aku membentak Ayah dengan keras.


“ Ayah dimana ibu ? Reno ingin ketemu ibu...!” ujarku keras, namun lagi-lagi Ayah dengan tubuh rentanya diam, seakan tak mendengar apa yang baru saja aku tanyakan tentang keberadaan ibu.


Aku hanya bisa menarik nafas kecewa, dan kembali aku mengulangi kata-kataku.” Ayah....! Ibu dimana ? Reno ingin mencari ibu....!” ujarku agak pelan, mencoba menenangkan emosiku yang mulai memuncak saat aku harus dihadapkan pada kediaman Ayah.


“ Apa kamu benar-benar ingin mencari ibumu ?”


Aku tersenyum, akhirnya Ayah mulai memberi jawaban saat aku bertanya tentang ibu. Mungkin ayah sudah kasihan denganku, Dengan cepat akupun mengangguk.” Iya Yah...! Apa Ayah tahu dimana keberadaan ibu ?”


“ Iya......!”


Aku menatap sayu. Lalu Ayah dengan tangan rentanya mengulurkan secarik kertas lusuh untukku, aku mengambilnya, lalu membuka lipatan kertas, tampaknya Ayah sudah menyimpan kertas itu terlalu lama dalam sakunya, hingga tulisan dalam kertas tampak buram, namun aku masih bisa membaca alamat yang tertera di kertas dengan jelas.


Desa Sumber Rejo Rt 7 Rw 2


“ Apa ini alamat ibu ?” tanyaku pada Ayah.


Ayah hanya mengangguk pelan. Tampaknya tubuh Ayah semakin lemah, sebenarnya aku enggan meninggalkan Ayah sendiri, namun kerinduanku pada ibu membuat aku tak mampu untuk tetap diam di desa, menunggu dan hanya bisa menunggu, aku sudah benar-benar bosan, hingga akupun meminta izin kepada Ayah untuk mencari ibu.


“ Ayah....Bolehkan Reno mencari ibu ?”


Ayah hening, ada sesuatu yang Ayah sembunyikan dariku, anaknya.


“ Silahkan......!  Ayah mengizinkanmu Anakku.....Tapi jagalah dirimu baik-baik....Hati-hati di jalan....!” balas Ayah memberi nasehat untukku, menyadari aku harus melakukan perjalanan panjang untuk menemukan alamat yang asing dalam memory-ku..


2 hari setelah dialog keberadaan ibu, akupun beramitan kepada Ayah untuk mencari dimana ibu sesuai dengan alamat yang tertera di kertas yang diserahkan Ayah, sebelum berangkat, Ayah hanya memberikan selembaran kertas untukku serta beberapa uang yang kiranya cukup untuk bekalku mencari ibu. Ayah juga berpesan untukku.


“ Jika sudah kau temukan ibumu.......Ayah harap kamu menyerahkan surat ini untuk ibumu ?”


Dengan pesan dari Ayah, aku semakin yakin aku pasti akan menemukan ibuku, menemukan perempuan yang membuat aku ada, perempuan mulia dengan surga di telapak kakinya seperti cerita Ayah sebelum mengantarku menuju alam mimpi setiap malam.


****


4 Bulan berlalu.


Perjalanku mencari ibu akhirnya berhenti tepat di sebuah desa Sumber Rejo, sesuai dengan alamat kertas yang Ayah berikan. Aku terus bertanya kesana kemari tentang keberadaan rumah yang sesuai dengan alamat di kertas. Sampai akhirnya ada seorang kakek tua yang mengantarkanku menuju alamat tersebut.


“ Apa masih jauh Kek ?” tanyaku pada kakek tua yang biasa dipanggil Mbah Zaman.


“ Ora le....! Cedek...!”[1]


Aku terus mengikuti langkah Mbah Zaman yang pelan, bahkan terkadang Mbah Zaman harus berhenti, menarik nafas, mengistirahatkan tubuhnya yang letih karena kami harus berjalan lumayan jauh, melewat beberapa tanjakan, tikungan, bahkan tak jarang kami harus melewati jalan berlumpur.


“ Ini rumahnya le..!” ujar Mbah Zaman.


Aku hanya bisa menghela nafas dalam saat pandanganku tertuju pada rumah besar yang tampak kotor, bahkan atapnya sudah hilang total, puing-puing pecahan kayu, atap, bata dan kaca berserakan dimana-mana, seperti  rumah bekas kebakaran.


“ Kemana sang pemiliki rumah ini Mbah ?” tanyaku penasaran.


Mbah Zaman hanya diam, lalu mulai menceritakan kisah tentang rumah yang sesuai dengan alamatku.


“ Rumah ini dulu milik seorang perempuan yang hidup bersama anaknya.....Namun karena perempuan itu difitnah sebagai seorang perempuan malam......Akhirnya pendduk desa membakar rumah ini berserta perempuan itu...Namun seorang lelaki menerobos bara api untuk menyelamatkan anak dari perempuan itu......, dan sampai sekarang kami belum tahu dimana keberadaan lelaki dan anak dari perempuan  malam itu.....Ada yang mengatakan keduanya sudah meninggal....Tapi kami tidak tahu pasti....Karena setelah rumah ini rata oleh api....Kami semua warga desa meninggalkan desa....! Dan tidak tahu menahu bagaimana keadaan lelaki yang nekat itu...!”


Aku menghela nafas panjang, ragu apakah semua cerita yang diceritakan Mbah Zaman benar terjadi.


“ Nama kamu siapa Nak ? Apa kamu memiliki orang tua ?” tanya Mbah Zaman.


“ Nama saya Reno Mbah... Tapi saya hanya tinggal bersama Ayah saya, dan saya datang ke desa ini mencari ibu....” balasku datar.


Mbah Zaman menatapku tajam, ada sesuatu yang berdecak dalam batinnya.


“ Siapa nama Ayahmu ?” tanya Mbah Zaman penasaran.


“ Namanya......Sutaji Mbah..!”


Mendengar nama Ayahku, Mbah Zaman berubah ekpresi, wajahnya tampak tidak percaya dengan apa yang terjadi denganya hari ini.


“ Ada apa Mbah...?” tanyaku datar.


Mbah zaman diam, dengan nada berat mengatakan siapa sebenarnya Ayahku, sebuah jawaban yang segera membawa ingatanku pada Ayah yang sudah berbulan bulan ini aku tinggalkan, aku tinggalkan dalam kondisi tuanya di saat ia tentu membutuhkan perhatianku sebagai seorang anak. Membutuhkan aku disisinya untuk menjaga dan merawatnya.


 Sutaji...Adalah lelaki nekat yang menerobos bara api malam itu... !


****


Hampir sebulan lebih aku meninggalkan desa di mana aku mengenal Mbah Zaman dan penduduk sekitar yang menceritakan tentang kehidupan Ayah dulu yang ternyata seorang santri, akupun tak heran karena Ayah kerapkali mengajariku banyak hal tentang agama, hingga membuat aku tumbuh dengan ilmu yang jarang dimiliki pemuda desa seumuranku.


Dan kini setelah sebulan perjalananku yang penuh alang rintang, akhirnya aku sudah berdiri di depan pintu rumah tuaku, memandang lekat pintu yang masih tertutup rapat.


“ Ayah..! “ ujarku memanggil Ayah. Air mata masih menetes pelan dari pelupuk mataku, ada sesal yang tak lagi mampu kutahan.” Ayah...!” lanjutku, namun pintu yang kuharap akan terbuka beriring senyuman Ayah yang menyambut kedatanganku, tak kunjung terjadi.


Akupun terus memanggil nama Ayah, berulang ulang, sampai akhirnya seorang lelaki menghampiriku.


“ Nak Reno...! Kamu kemana saja selama ini !” ujar Pak Rahmadi, tetangga sebelah rumah kaget saat melihat kedatanganku.


“ Maaf Pak...! Saya dari desa Sumber Rejo.....Saya sedang mencari ibu....Saya rindu dengan ibu !” balasku polos.


Pak Rahmadi hanya hening, menyimpan sesuatu yang tampaknya enggan untuk aku harapkan.


“ Kamu memang benar....! Kamu mencari ibumu...Tapi kamu telah melupakan sosok yang lebih penting dibanding ibumu...!”


“ Maksud Bapak apa ? Ayah ada dimana ?”  tanyaku sedih seraya mengusap sisa-sisa air mataku yang sudah terhenti.


“ Kamu ikut bapak.....! Bapak mau menunjukkan sesuatu kepadamu !”


Akupun melangkah mengikuti Pak Rahmadi.


****


Aku hanya berdecak heran saat pak Rahmadi mengajakku ke pemakaman umum, lalu berhenti di sebuh nisan yang tampak masih baru, dengan air mata yang kembali meleleh aku membaca  nama yang tertera di nisan yang tak lain adalah nama Ayah yang kucinta, Sutaji.


“ Ayahmu meninggal sekitar dua bulan lalu....!”


Aku hening, dengan balutan air mata, pandanganku membaur dengan duka, semua yang terjadi membuat sesal dalam jiwa, membuat aku benar-benar tak mampu untuk tetap berdiri.


Aku tersungkur memeluk nisan Ayah, duka benar-benar membuat jiwaku lemah, kini karena kesalahanku aku tidak hanya kehilangan sosok ibuku, aku juga kehilangan sosok Ayah yang telah merawatku.


“ Nak Reno yang sabar...Semua hanya titipan....Termasuk Ayah kamu..., dan sudah saatnya Ayahmu kembali kepada Dia Yang Maha Berhak atas segala sesuatu...! Apa Ayahmu tidak menitipkan sesuatu untukmu ?” tanya Pak Rahmadi.


Aku diam, lalu teringat surat yang Ayah titipkan kepadaku agar aku menyerahkan untuk ibu. Dengan nafas memburu aku segera membaca lembaran surat itu.





Untuk putraku.....Ahmad Reno....


Ibu..Tentu engkau ingin mencari ibumu Nak ! Karena engkau tahu.....Surga berada ditelapak kaki ibumu...Seperti yang biasa Ayah ceritakan usai shalat bersamamu.....Ataupun saat mengantarmu tidur...Hingga Ayah mengizinkanmu pergi untuk mencari ibumu....., dan Ayah rasa, setelah kamu mengetahui semua tentang ibumu, lalu tentang Ayah yang ternyata bukan Ayah kandungmu......Ayah harap kamu sudah semakin dewasa...Kamu sudah bisa menjadi sosok tegar, hingga saat kamu juga harus kehilangan Ayah...Kamu sudah siap ! Ayah mengizinkan kamu pergi mencari ibumu.....Karena Ayah tidak ingin kamu bersedih  melihat kepergian Ayah......Ayah harap, setelah kamu membaca surat dari Ayah ini....Kamu harus tersenyum, hapus air matamu...., dan tumbuhlah menjadi anak yang mandiri.....Tumbuhlah menjadi sosok yang tegar dalam menjalani hari....Ayah yakin kamu mampu...


Ayah sangat menyayangimu Nak...........Izinkan Ayah menyusul ibumu di surga....


Tes


Air mata kembali menetes pelan, jatuh tepat di atas kertas, dimana rangkaian huruf surat perpisahan dari Ayah tertulis, aku mendesah pelan, menyimpan sesal dalam jiwa terdalamku, mencoba tersenyum sesuai dengan yang Ayah pinta, namun aku tak mampu, larena jiwaku benar-benar terluka, dan dengan sebuah senyum yang kupaksakan beriring air mata aku mendesah sebagai seorang anak yang hanya terlahir dengan kasih sayang dari seorang Ayah, tanpa pernah merasakan cinta dari seorang ibu.


 Surga ditelapak khaki Ayah....Aku mencintainya....! Jagalah dia dalam kasih dan cinta-Mu....Amin..


Pak Rahmadi hanya hening, menatapku yang masih kembali memeluk nisan Ayah seraya berurai air mata. Duka.


         


Blokagung. Waktu dhuha. ...8.30 WIS 2 Januari 2013.





Penulis novel “Air Mata Nayla”


[1] “ Tidak nak...! Dekat...!”

0 komentar: