Ketika seorang pujangga lewat di pesisir. Seorang gadis pesisir berkerudung menghampiri. Sang pujangga terdiam.
“ hai . siapakah gerangan ?” Tanya sang gadis.
“ aku hanya serpihan dari hidup ini.” Balas sang pujangga santai.
Sang gadis terdiam.’ Maaf. Aku mengganggumu, aku hanya ingin bertanya sesuatu padamu. Tak seorangpun yang bisa membuat aku puas dengan jawaban mereka”
“ silahkan” balas sang pujangga.
“ menurut engkau. Sahabat atau kekasihkah yang lebih berharga dalam hidup kita?”
Sang pujangga terdiam mendengar pertanyaan sang gadis. Sang gadis tertunduk resah, takut jika kata-katanya ada yang menyinggung.
Sang pujangga menarik nafas, kemudian mengarahkan pandanganya ke arah lautan biru nan luas.” Engkau tahu lautan itu”
Sang gadis mengangguk.
“ itulah sahabat. Tidak terjangkau dan luas. Semua berhargadan akan lebih berharga jika seorang sahabat itu bisa melebihiseorang kekasih dalam hal menyayangi dan mencintai. Karena kesejatian manusia adalah sahabat. Dan kita adalah sahabat. Apakah engkau ingat sebuah lukisan laut dengan dua orang anak kecil yang tengah asyik bermain.”
Sang gadis mengganguk” lalu bagaimana kau bisa tahu tentang lukisan itu.’ Sang gadis bertanya heran.
“ akulah anak kecil dalam lukisan itu.”ujar sang pujangga tertunduk. Sang gadis terdiam . rasa tidak percaya menyelimutinya. Sahabat yang telah hilang berpuluh-puluh tahun lalu kini hadir di depanya. Tetes bening mulai mengalir di pelupuk mata sang gadis.
‘ janganlah engkau menangis,.”
“ aku tidak menangis.” Balas sang gadis seraya mengusap air matanya.” Terima kasih” lanjut sang gadis.
‘ lalu bagaimana kabar kekasihmu ?” sang pujangga bertanya lembut.
“ dai, ah dia sudah pergi. Aku tak tahu ke mana, mungkin sudah menemukan yang lain. Dan kini aku kembali bahagia. Engkau telah datang. Dan ku harap kau tetap akan menajadi sahabatku bukan mantan sahabat”
“ kamu ada-ada saja. Di kamus persahabatan tidak mengenal istilah mantan sahabat. Sekali sahabat selamanya tetap sahabat.’
Kedua tersenyum. Membuat waktu berhenti seketika. Dan langit kosong menatap.
Ibnu samary. Al balaghy
0 komentar:
Posting Komentar