Jumat, Maret 18, 2011

novel khalifah cinta


1
Kenangan Masa Lalu

Di pojok gang perempatan. Tempat yang gelap, pengap, dan kotor. Suara tikus-tikus sering terdengar menyeling di antara kesunyian malam yang mulai beradu dengan pagi yang tinggal beberapa jam lagi. Menunggu fajar datang, adzan subuh, lalu semua kembali terbangun meniti hari.
Tampak dari balik tong sampah, Seekor kucing berwarna hitam kusam dengan bulu-bulu yang berdiri acak-acakan tengah mengendus mencari di mana sang tikus berada. Keberadaaan kucing hampir tidak bisa di ketahui dengan mata telanjang, paduan warna bulunya dengan kegelapan malam, sangat menyatu.
Kesunyian yang semakin meraja,Tiba-tiba berganti suara gaduh dari tong sampah alumunium yang berguling karena ulah usil si kucing. Dengan tangkas dan sigap, si kucing meloncat masuk ke tong sampah yang berukuran sebesar roda mobil dan mengobrak-ngabrik sampah yang berada di dalamnya, seraya berharap akan ada tikus yang tersesat dan menjadi menu makan malamnya.
Malam itu, tong sampahlah yang menjadi restoran termewah bagi si kucing. Selang beberapa menit mulut kucing penuh darah segar, menetes perlahan dari bulu-bulu kumisnya yang hitam keputih-putihan, melengkung ke atas dan ke bawah dengan panjang yang tak beraturan. Akhirnya harapan sang kucing berhasil terpenuhi, Seekor tikus putih kecil berhasil menjadi santapannya. Wajah sang kucing di hiasi kemenangan, tentu semua itu tidak lepas dari kerja keras si kucing mencari buronan, mengobrak-ngabrik tong sampah dari rumah satu ke rumah lain, yang pasti, ulah usil si kucing akan menyusahkan pasukan kuning yang datang mengambil sampah kala pagi, kemudian membuangnya agar kebersihan tetap terjaga, dan tentunya pengambilan sampah yang biasa lebih cepat menjadi molor gara-gara sampah yang berserakan, kocar-kacir karena ulah si kucing.
“ Hoi...Pergi. Dasar kucing sialan. Kucing brengsek ! “ seorang pemuda berteriak menggangu ketenangan sang kucing yang tengah menikmati menu makan malamnya, seekor tikus putih. Rasa kemenangan yang baru di rasakan sang kucing berganti ketakutan. Segera, tanpa menoleh ke asal suara yang meneriakinya sang kucing langsung berlari. Meloncati pagar pembatas rumah setinggi kurang lebih 2 meter dengan kakinya yang kuat dan lentur.
Pemuda itu tersenyum puas seraya kembali meneguk sebotol minuman keras yang sembari tadi di genggam. Tegukan pertama, pemuda itu kembali tersenyum kemudian merancau sesukanya. Tangannya melambai-lambai tak menentu, seperti orang yang baru belajar menari janger tanpa seorang guru ataupun ahli, alias tarian berantakan dengan gerakan yang tak di hitung jumlah dan cengkokannya, ataupun gerakan kaki maju dan mundur, yang jelas pemuda itu maju mundur tak menentu. Untung malam itu sunyi sepi, tak ada seorang-pun yang melintas di sekitar rumah, hanya pemuda itu dan beberapa kendaraan saja yang masih tampak setia menemani malam.
“ Hai Tuhan. Kemanakah kau. Kau bilang kau ada .... ! Lalu, kemanakah kau Tuhan...?, Di mana..? Saat aku membutuhkanmu, kenapa kau menghilang kemana....? Ah kau Tuhan pembohong. Kau Tuhan pendusta....! Semua janjimu kosong, salah apa aku ini Tuhan.? Dasar Tuhan sialan !! ” Pemuda itu terus merancau semaunya, tak peduli dengan mata lelah yang mulai terlelap bermain di alam mimpi. Suasana hatinya tampak kacau. Ada semburat luka yang semarak di dalam hati. Seketika, Pemuda itu kembali meneguk botol miras, kemudian menerawang jauh di atas awan yang tampak hitam gelap di langit, bintang tak lagi berkelip. Rembulan enggan memantulkan sinar dari matahari, apa kedua mahluk itu sedang merajuk, hingga mereka tak saling memberi dan membantu. Kemanakah rembulan ? apakah rembulan itu sudah bosan menemani bumi kala malam. Ah apakah bumi telah melukai rembulan dengan tingkahnya, apakah justru rembulan yang telah melukai bumi. Tak seorangpun yang tahu apa yang telah terjadi di antara mahluk-mahluk tak bernyawa itu, pembicaraan mereka sama sekali tidak ada yang peduli.
Mungkin untuk malam ini, benda di langit hitam menjadi hidup, hidup di dalam pikiran pemuda yang kini berjalan terhuyung di kegelapan malam. Menerobos dingin yang di bawakan angin malam ke seluruh pelosok penjuru.
Pemuda itu terus menerawang jauh ke awan, mencoba melepas lelah dan duka yang selalu menghantui, Seiring pikirannya yang mulai sadar, rasa sakit dan duka kembali menyergap. Sedetik kemudian miras kembali menjamah tubuh pemuda itu, matanya sedikit terpejam menikmati panas tenggorokan karena alkohol mulai meranah masuk dan membasahi kerongkongan.
Satu tegukan, pemuda itu masih tersadar. Dua tiga, dan seterusnya, akhirnya semua gelap, angannya terbang jauh. Di pikirannya hanya ada minuman dan minuman. Pemuda itu berteriak sekeras-kerasnya, Tak peduli lagi apa yang ada di sekelilingnya. Baginya, hanya Minuman beralkohol yang mampu menghilangkan semua masalahnya. Menenangkan pikiran yang selalu berselimut dengan berbagai masalah.
Usai tertawa sepuasnya, pemuda itu melempar botol miras ke tong sampah yang terletak tidak jauh dari tempatnya berdiri. Kemudian pemuda itu kembali berjalan sempoyongan, tubuhnya terlihat letih tak berdaya. Berkali-kali tubuh pemuda itu terhantam di tembok, karena keseimbangan yang kurang. Namun pemuda itu segera bangkit, menahan lutut menggunakan kedua tangannya, lalu memusatkan kedua tenaga tangan di lutut agar kaki yang letih itu segera dapat berdiri seperti semula.
Suasana malam yang semakin larut tak membuat pemuda itu berhenti berjalan, ataupun beristirahat untuk memejamkan mata yang sedikit lelah dan mengantuk. Hawa dingin semakin merajalela, menguasai setiap sudut-sudut kehidupan.
Tanpa di sadari pemuda itu, Dari kejauhan seorang gadis yang terganggu dengan ulah pemuda itu memandang lugu dari balik jendela. Gadis itu tersenyum. Rambut panjang hitamnya terurai lembut di belai sang angin malam, melambai-lambai tenang penuh pesona. Gadis itu terus tersenyum seraya merapikan rambutnya, Kemudian menutup jendela dan segera mengambil mukena dan sajadah untuk segera menunaikan shalat malam. Shalat sunah yang sudah menjadi kebiasaannya setiap malam.” Dan pada sebagian malam hari, shalat tahajjudlah kamu sebagai ibadah nafilah bagimu, mudah-mudahan Rabbmu mengangkatmu ke tempat yang terpuji.”
Tapi gadis itu kembali membuka jendela ketika mendengar teriakan pemuda mabuk itu. Ada resah yang tiba-tiba hadir melebur bersama pertanyaan-pertanyaan aneh di dalam dirinya.
“ Hai Tuhan...! Tuhan brengsek, Tuhan kejam ..! Kenapa Kau siksa aku seperti ini. Kau bilang Kau maha adil. Tapi mana. Kau tidak adil. Kau tidak adil..! Semua janji-Mu kosong, Kau hanya sebuah ketidaknyataan. Kau ilusi. Dasar pembohong..!”
Gadis itu ber-istighfar lirih mendengar ucapan pemuda itu. Ada perih di daun telinganya. Di peluknya erat mukena dan sajadah yang baru saja di ambil, Kemudian diam dalam keheningan malam, dan berdoa. “ Ya Allah dalam gelap ini hamba berserah pada-Mu. Bukakanlah pintu hati hamba dan pintu hati hamba-Mu di ujung sana. Perkenankanlah dia untuk menemukan dan mendapatkan siraman cinta-Mu. Cinta yang juga selama ini hamba rindu.
Ya Allah, Engkau yang maha pengasih lagi maha penyayang. Sampaikanlah salam hamba untuk pemuda itu. Salam dari saudara sesama muslim, Sadarkanlah dia dari semuanya, sebagai mana Engkau menyadarkan kami dari kerusakan dan kehinaan. Dan tunjukkanlah kami jalan yang lurus, jalan yang Engkau ridlai, jalan yang akan membimbing kami pada kebahagiaan abadi. Rabbanaa aatina fiddunya hasanah wafil aakhirati hasatau waqinaa adzabannaar... Amin.. .”
Gadis itu tersenyum manis seraya mengusapkan kedua telapak tangannya yang lembut ke wajahnya yang putih berseri. Kemudian mengarahkan bola matanya yang hitam kebiruan tepat di mana pemuda itu berdiri,Dan...
Sebuah pemandangan yang membuat mata indah gadis itu terasa perih terjadi. Pemuda itu terlempar hampir lima meter dari tempatnya berdiri. Sebuah mobil hitam menerobos batas jalan dan kemudian menerjang tubuh lunglai pemuda itu, pemuda itu tak lagi sempat menghindar.
Gadis itupun segera berlari menuruni tangga kamar yang terletak di lantai tiga. Nafasnya terengah-engah seiring air mata yang menetes dengan sendirinya. Dengan sekuat tenaga gadis itu terus berlari, tak peduli dengan kakinya yang tergelincir karena kondisi tangga yang licin. Pintu depan terlihat, gadis itu segera membukanya dan keluar, mencari di mana sosok pemuda itu berada.
“ Innalillahi wa innaa ilaihi raaji’un . Mas tolong bertahan.!” Gadis itu segera menghampiri tubuh pemuda yang meringis menahan sakit. Wajahnya penuh luka. Ada memar di sekitar leher dan lengan. Darah segar terus membanjir di sekeliling pemuda itu tergeletak, darah terus mengalir perlahan menuju got yang sering menimbulkan bau tidak sedap. Seketika bau anyir menyergap hidung.
“ Tolong... “ ujar pemuda itu lirih sesaat sebelum kehilangan kesadaran. Gadis itu semakin gelisah. Tangannya bergetar kaku untuk menyentuh pemuda itu. Ada ketakutan yang membuatnya ngilu untuk terus menatap pemuda itu. Darah segar yang terus mengalir membawa ingatan sang gadis pada peristiwa enam tahun lalu. Peristiwa menyakitkan yang telah merenggut nyawa saudara laki-lakinya. Kenangan enam tahun lalu benar-benar masih melekat dalam benak gadis itu, bahkan kenangan itu sering menghantuinya. Membuatnya diam takut untuk menatap dunia.
“Ummi, Ira berangkat sekolah dulu ya !“ gadis itu berpamitan sambil mencium punggung tangan ibunya lembut dan penuh rasa ta’dim. Ummi adalah panggilan gadis itu kepada Mak Izah, ibunya. Panggilan yang di dapat Ira sewaktu pelajaran bahasa arab di madrasah, tempatnya mengais ilmu agama.
“ Iya Ra...! Hati-hati di jalan ” balas Mak Izah.
“ Um ! Kalau nanti Mas Azmi sudah pulang, suruh nunggu Ira ya Um..! Soalnya nanti Ira pulangnya agak siang. Ada bimbingan UAN.” ujar Ira seraya merapikan jilbabnya.
“ Iya insya Allah nanti Ummi sampaikan ”
“ Um...! Ira berangkat dulu.” Ira berpamitan untuk kedua kalinya. Sejenak keduanya bertatapan dalam. Ada cinta yang besar tumbuh di antara garis-garis mata keduanya. Cinta yang penuh dengan keihlasan dan saling menerima.
“ Assalamu’alaikum.” Ira berhambur keluar rumah dengan cepat.
“ Wa’alaikum salam“ Mak Izah tersenyum tipis melihat anak semata wayang yang sangat berharga dalam hidupnya. Walaupun Mak Izah tahu ada rahasia besar antara dirinya dan Ira. Dan Mak Izah sadar jika rahasia itu terungkap kelak, pasti dirinya akan berpisah dengan Ira.
Mak Izah yang sembari tadi duduk di kursi tamu segera berdiri untuk bersih-bersih menyambut kedatangan Azmi. Anak laki-laki Mak Izah yang kuliah di Kairo. Kebetulan hari ini Azmi pulang, setelah hampir enam tahun Azmi mengenyam pendidikan di negri timur dan tidak pernah pulang sama sekali, mungkin kabar tantang Azmi hanya terdengar lewat jaringan telepon ataupun surat.
“ Kriiiiiing....! “ telepon rumah berbunyi. Mak Izah yang sembari tadi mencuci piring di dapur segera kembali menuju ke ruang tamu. Di angkatnya ganggang telepon warna hitam yang letaknya tepat di almari bagian tengah. Tidak jauh dari letak televisi hitam putih. Televisi dari almarhum sang suami yang tidak akan tergantikan.
“ Assalamu’alaikum “ suara Azmi terdengar dari seberang di iringi suara bising mesin yang meraung-raung serta suara gaduh dari deruan suara-suara tawa manusia.
“Wa’alaikum salam. Udah nyampai Mi ?! “ Mak Izah bertanya lembut. Rasa rindu pada anaknya begitu menggebu. Tapi Mak Izah tahu sebentar lagi rindu itu akan terobati.
“ Belum Mak, Azmi masih di bandara. Mak yang sabar ya. Azmi kangen sama Mak.” Bahasa yang di gunakan Azmi membuat Mak Izah tersenyum. Walaupun sudah tidak pulang enam tahun Mak Izah tau anaknya tetap seperti dulu. Khas jawanya masih saja kental, walaupun terkadang bercampur dengan istilah arab yang tidak di ketahui Mak Izah. Walaupun Mak Izah sendiri alumni Pondok Pesantren Sidogiri, tidak sepenuhnya bahasa arab yang di gunakan Azmi bisa di pahami Mak Izah. Mungkin semua kosakata arab yang dulu Mak Izah pelajari di Sidogiri sudah termakan usia Mak Izah yang kini mencapai kepala empat.
“ Iya. Ibu kok ganti yang gak sabaran, padahal dulu ibu sering nyeramahin kamu Innallaha ma’ash shabirin. Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang mau bersabar. Eh Sekarang malah kebalik. Mungkin setelah kamu pulang kamu bisa nyeramahin ibu. ”
“ Mak ada aja. Ya ndak to! Malah nanti Azmi pingin dapat nasehat dari Mak yang gak Azmi dapatkan di Kairo. Nasehat yang penuh kasih sayang Mak.”
Keduanya tertawa renyah. Cinta mengalir perlahan, tersalur lewat jaringan telepon, dan rasa rindu sedikti terkurangi dengannya.
“ Mak. Azmi minta maaf ya Mak ! Kalau selama ini Azmi punya salah sama Mak. Oh ya Mak ! Azmi juga minta maaf sama Ira ya, salam buat Ira, belajar yang sungguh-sungguh ”
Mak Izah terdiam mendengar perkataan Azmi. Ada sesak yang memenuhi kalbu Mak Izah. Mak Izah bingung, ada sesuatu yang membuatnya terasa aneh. Tidak biasanya Azmi minta maaf kepada Mak Izah sebelum telepon berakhir. Mak Izah segera ber-istighfar, mengembalikan semua kepada yang di atas. Karena hanya Dia Dzat yang agung yang mengetahui semua.” Inni a’lamu ma la ta’lamun.
“ Iya. Ibu juga minta maaf. Azmi ! Ada salam dari adikmu, Niswah. Katanya sudah kangen ma kamu.” ujar Mak Izah. Niswah, lengkapnya adalah Khairun Niswah. Nama asli dari Khumaira’. Khumaira’ adalah nama panggilan Niswah di keluarganya. Mulai dari kakeknya bahkan sampai adik-adiknya selalu memanggil Niswah dengan nama Khumaira atau potongannya saja Ira, sampai-sampai ada salah satu keluarga yang tidak mengenali khumaira’ dengan nama Niswah. Sebut saja Lek Bud, adik kandung Mak Izah. Sudah hampir setahun Lek Bud berkerja di Jogja sebagai editor percetakan. Dan bertepatan dengan Khumiara’ yang mendapatkan juara terbaik dalam lomba fisika se-Jawa Timur, Lek Bud Pulang. Berniatan untuk menemui keponakan tercintanya itu. Tapi ketika Lek Bud sudah sampai di rumah, Lek Bud heran. Karena mendengar nama baru yang sama sekali tidak pernah di dengarnya.
“ Mbak Izah. Khairun niswah niku sinten . ?” Lek Bud bertanya kepada Mak Izah dengan logat Jogja yang masih kental.
“ Khairun niswah to ! Beh kamu itu gimana to, sama keponakan sendiri gak tahu.” balas Mak Izah tersenyum geli.
Lek Bud hanya cengar cengir. “ Ngeh pripon Mbak. Kulo ngertose namung Khumaira’, Fitri, kaleh Anis. Empon namong tigo niku, kan keponakan seng laen jarang mriki, mriki pun pas kulo pon wangsul ten Jogja.”
Mak Izah menahan tawa setelah tahu kalau Lek Bud belum tahu nama asli Khumaira’ adalah Khairun Niswah.
“ Makanya to Bud. Jangan kerja terus, sekali-kali pulang ke rumah agar tidak asing di keluarga, kamu tiap hari pergi terus. Mbok yo sekali-kali tanya siapa nama asli keponakmu Khumaira’. Yang namanya Khairun Niswah itu ya keponakanmu Ira.” ujar Mak Izah seraya tersenyum.
“ Iya-iya Mbak. Al insanu mahalu khoto’ wa nisyan .” jawab Lek Bud seraya tersenyum bundar. Matanya berkedip-kedip sebentar lalu memandang sekeliling ruangan.
“ Malah ndalil ! Besok hari jumat di masjid aja. Kamu itu bukannya lupa. Tapi kurang bertanya, ati-ati lo ! Ada pepatah mengatakan malu bertanya kecemplong joglangan ” ujar Mak Izah bercanda.
Lek Bud tersenyum.” Tesesat di jalan Mbak,! Bukannya kecemplong joglangan.”
“ Iya-iya Mbak tahu, ! La wong Mbak mek guyon.”
“ Mboten usah ngapusi Mbak “ Lek Bud menggoda.
“ Iya-iya, Mbak salah.” Mak Izah tersenyum tipis. Menampakkan sedikit kerutan di wajahnya.
Lek Bud diam. Kemudian kembali mengamati sekeliling rumah Mak Izah. Suasana setahun lalu tampaknya masih melekat di benaknya, tepatnya saat Lek Bud pulang karena hari libur. Ruang tamu dengan dua kursi sudut panjang. Meja kaca terletak di antaranya. Terlihat seimbang dan kontras. Sekuntum bunga mawar tampak tumbuh segar di atas meja dengan pas bunga dari marmer putih bercorak petir, di ukir khas kudus. Pasti Mak Izah rajin mengeluarkan bunga itu setiap hari, menyirami, dan memotong batang, daun atau bunga yang sudah kering. Sehingga bunga mawar itu selalu tampak segar dan cerah. Secerah sang pemilik rumah, Mak Izah, Azmi dan Ira. Mak Izah memang seorang ibu yang patut di teladani oleh anak-anaknya. Pantas saja jika Khumaira’ maupun Azmi selalu mendapat prestasi di berbagai bidang di sekolahnya. Semua itu tentu tidak lepas dari bimbingan Mak Izah sebagai seorang ibu. Petuah-petuah yang di sampaikan Mak Izah benar-benar mampu membuat kedua anaknya berubah.
Kenangan Lek Bud dengan Mak Izah selalu menjadi bahan utama untuk mengundang tawa ketika reuni keluarga di adakan. Dan yang menjadi objek utama adalah selalu Lek budi dengan Mak Izah sebagai profokator.
“ Mak. Udah dulu ya, ! Azmi sudah mau berangkat. Salam buat Ira. Mas minta maaf !”
“Tuuut.!” Telepon terputus. Mak Izah sedikit khawatir. Ada serentetan keanehan yang di alaminya hari ini. Ada rasa takut yang menyelimuti Mak Izah.
“ Ya Allah lapangkanlah dada hamba dalam menjalani kehidupan ini, dan isilah hati hamba yang kosong ini dengan ketabahan dan ketegaran, ya Allah Engkaulah yang memberi hidup dan Engkaulah pula Dzat yang mematikan, hanya pada-Mu hamba berserah, dan hanya pada-Mu lah hamba kembali. Amin .” dalam hati Mak Izah berdoa sambil meletakkan ganggang telepon. Mak Izah kembali menuju dapur, untuk Kembali membersihkan perkakas yang masih berantakan. Mempersiapkan segala sesuatu yang di perlukan untuk menyambut Azmi.
****
Siang menyingsing, mengantar matahari menuju pusat bumi, di mana kehidupan telah tiada. Panas terik tercipta seketika, air dari berbagai penjuru menguap berkumpul menjadi awan. Saat itu, Adzan Dhuhur sudah berkumandang beberapa menit yang lalu. Mak Izah sudah shalat di mushala sebelah rumah. Ira yang sekolah belum juga pulang. Usai shalat, Mak Izah duduk santai di teras rumah seraya menunggu kedatangan Ira. Menikmati panas beserta angin sepoi yang membelai jilbab putih Mak Izah. Jilbab itu melambai-lambai, seperti memanggil seseorang, Mak Izah memang sedang memanggil, alias memanggil cinta dan menunggu kedua anak tercinta untuk segera berkumpul di rumah.
Setelah kepergian sang ayah, rumah yang dulunya di huni empat kepala menjadi sepi, apa lagi sejak Azmi anak pertama Mak Izah kuliah di Kairo, semua terasa sepi, hanya Ira dan Mak Izah saja yang tinggal di rumah. Dan Ira-pun tumbuh tanpa kasih sayang seorang ayah.
“ Assalamu’alaikum “ Ira muncul dari halaman dengan senyum yang merekah. Mak Izah berdiri seraya tersenyum manis menyambut kedatangan Ira yang tampak lelah, wajah kecil, putih nan ayu itu lampak lesu dan kusut. Ira berjalan santai kemudian Ira mencium punggung tangan Mak Izah, ta’dim.
“ Wa’alaikum salam kok dah nyampek, Apa udah pulang ? “ tanya Mak Izah heran melihat Ira pulang lebih awal dari biasanya.” Tidak bimbingan?” lanjut Mak Izah.
“ Iya Um..! Tadi tidak jadi bimbingan. Kata temen-temen, keluarga guru pembimbingnya ada yang kecelakaan udara, jadi bimbingan di tunda minggu depan.” balas Ira tersenyum renyah.
“Kecelakaan udara, di mana ?” Mak Izah bertanya khawatir. Perasaannya sebagai seorang ibu terhadap anak menjadi bimbang, ada rasa takut untuk kehilangan seseorang yang di cintainya.
“ Kalau Ira tidak salah denger, ehm...katanya pesawat dari Kairo yang menuju Indonesia bu, ! Emangnya ada apa to bu ? Trus Maz Azmi sudah pulang belum bu?” jawab Ira lugu, belum menyadari ada secercah kekhawatiran yang terpancar di bola mata Mak Izah. Ira diam menatap Mak Izah yang terlihat resah. Ira bingung, takut kalau kata-katanya ada yang membuat Mak Izah, ibunya tersingung.
Mak Izah masih terus bermain dengan kegelisahan yang sembari tadi membelenggu, pikirannya berubah takut ketika kata kecelakaan udara dari Kairo menuju Indonesia keluar dari bibir Ira yang lucu. Mak Izah masih diam, mencoba menepis segala rasa kekhawatiran yang bercampur dengan rasa lain yang barusan muncul, resah, takut semua melebur. Mak Izah sendiri tidak tahu kenapa hatinya begitu bimbang, yang jelas ada satu rasa yang sangat kuat, rasa takut kehilangan.
“ Ya Allah apakah ini garisan takdir yang telah Engkau berikan. Semoga hamba-Mu yang lemah ini mampu bertahan dengan semua ini.” gumam Mak Izah. Seketika pandangan Mak Izah tertuju pada kaligrafi yang bertenger di dinding rumah, di amatinya perlahan. Lalu di baca di dalam hati yang sedang gundah itu.” Allah tidak akan memberikan cobaan melebihi kadar kemampuan hamba-Nya,” Mak Izah tersenyum simpul, tapi bagaimanapun hati itu masih di liputi resah yang tak menentu, hingga air mata terus menetes perlahan membasahi jilbab Mak Izah. Ira yang melihat Mak Izah menangis ikut bersedih, di peluknya Mak Izah erat, seperti takut akan kehilangan Mak Izah selamanya.
“ Nak jangan tinggalkan Ummi ya?” bisik Mak Izah di telinga Ira yang tertutup kerudung hitam.
Dengan lelehan air mata Mak Izah beranjak dari teras rumah, melepas pelukan Ira, lalu berjalan menuju ruang tamu, tanpa memperdulikan Ira yang masih bingung dengan apa yang sebenarnya sedang terjadi, hingga ibunya meneteskan air mata. Mak Izah langsung mengambil remot TV dan mencari saluran berita tentang kecelakaan udara.
“ Innalilllahi wainnaailaihi raaji’un “ ujar Mak Izah lirih . Mak Izah benar-benar kalut. Sesak menyergap di setiap ulu hatinya ketika apa yang di katakan Ira benar-benar nyata, pesawat terbang yang di tumpangi Azmi meledak, korban masih belum di ketemukan, hanya beberapa serpihan pesawat yang berhasil di evakuasi. Dalam sesak Mak Izah berharap semua akan baik-baik saja.
Mak Izah memeluk erat Ira. Ira tersenyum, sama sekali tidak menyadari apa yang sebenarnya terjadi, yang kini ada di pikiran Ira adalah menyambut kedatangan Azmi, saudara laki-lakinya yang sudah lama tidak pulang.
Mak Izah memandang Ira. Sekuat tenaga Mak Izah menahan duka, tapi tidak bisa, perlahan air mata Mak Izah kembali menetes.
“ Kenapa Ummi menangis lagi?” Ira bertanya bingung. Di tatapnya kedua bola mata Mak Izah. Ira tersentak, ada duka yang bersemayam di balik bola mata itu. Duka yang dulu pernah ada dan kini duka itu kembali hadir dan lebih membara.
“ Assalamu’alaikum ! “ seseorang mengucapkan salam dari luar. Mak Izah segera mengusap air matanya. Lalu memandang ira kosong. Ira tersenyum.
“ Wa’alaikum salam. Ndok kamu buka pintunya, kasian tamunya nunggu?” Mak Izah menyuruh Ira. Ira segera beranjak menuju pintu depan. Dengan lembut tangan kecil Ira membuka ganggang pintu. Pintu terbuka perlahan. Pandangan polos Ira tertuju pada dua orang polisi yang tengah berdiri di depan pintu. Bola matanya dengan sigap mengamati kedua polisi itu, ada sepercik rasa kagum yang hadir dalam hati kecil Ira.
“ Silahkan masuk pak?” Ira mempersilahkan kedua polisi untuk masuk rumah. Tak buang waktu, polisi itupun masuk. Dan kemudian duduk di kursi. Wajah kedua polisi itu tampak garang, namun ada keberanian dan kegagahan di balik sorot mata kedua polisi itu.
Ira segera berjalan menemui Mak Izah yang masih di ruang tengah. Ira kaget, Mak Izah masih menangis. Ira berhenti di depan pintu ruang tengah. Di tatapnya ibunya tajam, ada duka yang tidak dia ketahui. Perlahan Ira menghampiri Mak Izah.
“ Ummi, kok nangis lagi.” tanya Ira mencoba mencairkan suasana.“ Ada apa Um...? ?” Ira tampak khawatir.
“ Ndak ada apa-apa Ndok. Sudah kamu masuk sana, buatkan minuman buat tamu tadi. Mak mau nemuin tamu dulu.” balas Mak Izah seraya mengusap air mata dengan jilbab.
“Iya Um...!” Ira segara berjalan menuju dapur. Ada resah yang menghampiri Ira. Kakinya terasa berat untuk melangkah masuk ke dapur, hatinya ingin tahu apa yang sedang di rasakan Mak Izah.
Perlahan Ira mengikuti Mak Izah dari belakang. Di lihatnya Mak Izah yang duduk di kursi seraya berbincang-bincang dengan kedua polisi itu. Air mata Mak Izah kembali meleleh. Tak banyak ucapan Mak Izah maupun kedua polisi itu yang di tangkap indra pendengaran Ira. Ira terus berkonsentrasi. Perlahan-lahan suara Mak Izah terdengar semakin jelas.
“ Ini titipan dari almarmuh Mas Azmi untuk adiknya sesaat sebelum almarhum pulang ke rahmat-Nya. Hanya Mas Azmi saja korban yang saat ini berhasil di temukan” ujar salah satu polisi seraya menyerahan bingkisan plastik hitam.
“ Ini untuk Ira?” ujar Mak Izah. Air mata masih meleleh perlahan dari kelopak mata, Mak Izah tertunduk lesu. Polisi itupun berpamitan.
Sementara itu Ira yang mendengar nama Mas Azmi di sebut dengan embel-embel almarhum tertegun. Sesak memenuhi relung hatinya. Ira menangis tapi tak kuasa, kesedihan telah menguasai hatinya. Seketika matanya berkunang-kunang, kepalanya terasa berat, ada beban yang terjerat di pundak. Ada ngilu di sekujur tubuh, seketika Ira terjatuh tak sadarkan diri.
“ Ira !“ Mak Izah berteriak. Di belainya Ira penuh kasih sayang.
“ Gludak!!” kucing yang meloncat melewati tong sampah menyadarkan Ira dari lamunan masa lalunya yang kelam. Kerudung hitam pemberian almarhum Maz Azmi berlumuran darah pemuda yang kini sedang tak sadarkan diri. Ira segera mengambil HP lalu menelpon seseorang.
“ Halo Mbak Ira, ada apa malam-malam begini ko tumben telfon? “ suara seorang gadis terdengar dari seberang.
“Intan cepetan kamu turun...! Ada korban kecelakaan.” ujar Ira mengeraskan suara. Intan yang kostnya juga berada di lantai tiga langsung turun.
“Iya bentar Mbak, saya sedang jalan .”
“ Intan cepet ” Ira memanggil Intan yang baru muncul dari balik pintu gerbang.
Intan berjalan cepat ke arah Ira. Suasana gelap di hiasi samar-samar lampu neon menerawang. Wajah Ira tak begitu jelas.
“ Masya Allah. Ayo kita bawa ke rumah sakit!” usul Intan. Ira menggangguk.
“ Kenapa kamu Mbak ?” Intan bertanya kepada Ira yang tampak pucat pasi. Ira terdiam, tubuhnya mengigil.
“Udah ayo cepet!“ Ira mengalihkan perhatian Intan. Menutupi kesedihan di dalam hatinya. Intan menatap Ira.
“ Mbak gak usah bohong “ gumam Intan. Sebagai seorang sahabat, Intan sangat memahami Ira. Semua yang dia rasakan Ira pasti Intan rasakan. Sudah sejak kecil mereka bersama bahkan sampai sekarang saat mereka kuliah, Intan sudah menganggap Ira sebagai saudara perempuannya.
“ Mbak saat seseorang berbohong, semua kebenaran berada di bola matanya. Dan di bola mata Mbak ada sebuah lukisan yang tidak semua orang bisa mengetahuinya, dan Mbak harus tahu, aku bisa mengetahui itu. Bisik Intan di telinga Ira.”
“Sukran katsir ukhti ! ” balas Ira seraya tersenyum. Kemudian Ira menelpon ambulan.
Malam semakin larut mengiringi Ira dan Intan yang tampak was-was. Semakin keduanya terdiam, sesak di dalam hati semakin menyeruak. Intan terdiam seketika memandang Ira yang termenung. Goncangan mobil ambulan yang terus melaju sama sekali tak mengubah pandangan Ira yang terus menerawang di luar jendela kaca.
“ Mbak ada apa? Apa Mbak kenal sama pemuda ini...? ” tanya Intan. Ira tersenyum.
“ Kenapa Mbak, ada yang lucu ?” Intan kembali bertanya.
“ Mbak hanya sedang tidak enak badan.” Ira berbohong. Intan sedikit curiga.
“Mbak gak usah bohong sama Intan, Intan tahu siapa Mbak,? Intan kenal melebihi semua orang yang kenal Mbak. Semua yang Mbak sembunyikan dari Intan pasti akan terbaca di lewat tingkah Mbak yang tiba-tiba berubah ataupun sorot mata Mbak yang lebih sering terlihat sedih dan duka, Intan sudah dari kecil hidup sama Mbak. Mbak yang sabar ya. Pasti Mbak ingat kejadian enam tahun lalu, iya kan. Mbak gak usah kembali ke masa lalu. Maz Azmi sudah tenang Mbak. Mbak selalu berkata kepada Intan. Kalau hidupmu adalah hari ini bukan kemaren atau besok, maka lakukan yang terbaik hari ini, bukankah kita sedang menanti kematian. Berarti selama ini Mbak bohong sama Intan. Ya Mbak telah berbohong. Mbak tidak hanya berbohong dengan Intan, tapi dengan diri Mbak sendiri, ya Mbak harus sadar itu” kata-kata Intan membuat Ira meneteskan air mata.
” Maafkan Mbak Tan!” Ira memeluk Intan. Semakin erat dan erat, seiring malam yang beberapa jam lagi akan terhias dengan jago yang berkokok kala subuh datang.


bersambung......!!!.. ibnu_samary al-balaghy...

0 komentar: