Oleh : A. Mustofa Bisri
29 September 2005 23:37:09
Di antara putera-putera Kiai
Saleh, pengasuh pesantren “Sabilul Muttaqin” dan sesepuh di daerah kami, Gus
Jakfar-lah yang paling menarik perhatian masyarakat. Mungkin Gus Jakfar tidak
sealim dan sepandai saudara-saudaranya, tapi dia mempunyai keistimewaan yang
membuat namanya tenar hingga ke luar daerah, malah konon beberapa pejabat
tinggi dari pusat memerlukan sowan khusus ke rumahnya setelah mengunjungi Kiai
Saleh. Kata Kang Solikin yang dekat dengan keluarga ndalem, bahkan Kiai Saleh
sendiri segan dengan anaknya yang satu itu.
“Kata Kiai, Gus Jakfar itu lebih
tua dari beliau sendiri,” cerita Kang Solikin suatu hari kepada kawan-kawannya
yang sedang membicarakan putera bungsu Kiai Saleh itu. “Saya sendiri tidak
paham apa maksudnya.”
“Tapi, Gus Jakfar memang luar biasa,” kata Mas Bambang, pegawai Pemda yang sering mengikuti pengajian subuh Kiai Saleh. “Matanya itu lho. Sekilas saja mereka melihat kening orang, kok langsung bisa melihat rahasianya yang tersembunyi. Kalian ingat, Sumini yang anak penjual rujak di terminal lama yang dijuluki perawan tua itu, sebelum dilamar orang sabrang kan ketemu Gus Jakfar. Waktu itu Gus Jakfar bilang, ‘Sum, kulihat keningmu kok bersinar, sudah ada yang ngelamar ya?’. Tak lama kemudian orang sabrang itu datang melamarnya.”
“Tapi, Gus Jakfar memang luar biasa,” kata Mas Bambang, pegawai Pemda yang sering mengikuti pengajian subuh Kiai Saleh. “Matanya itu lho. Sekilas saja mereka melihat kening orang, kok langsung bisa melihat rahasianya yang tersembunyi. Kalian ingat, Sumini yang anak penjual rujak di terminal lama yang dijuluki perawan tua itu, sebelum dilamar orang sabrang kan ketemu Gus Jakfar. Waktu itu Gus Jakfar bilang, ‘Sum, kulihat keningmu kok bersinar, sudah ada yang ngelamar ya?’. Tak lama kemudian orang sabrang itu datang melamarnya.”
“Kang Kandar kan juga begitu,”
timpal Mas Guru Slamet. “Kalian kan mendengar sendiri ketika Gus Jakfar bilang
kepada tukang kebun SD IV itu, ‘Kang, saya lihat hidung sampeyan kok sudah
bengkok, sudah capek menghirup nafas ya?’ Lho, ternyata besoknya Kang Kandar
meninggal.”
“Ya. Waktu itu saya pikir Gus
Jakfar hanya berkelakar,” sahut Ustadz Kamil, “Nggak tahunya beliau sedang
membaca tanda pada diri Kang Kandar.”
“Saya malah mengalami sendiri,”
kata Lik Salamun, pemborong yang dari tadi sudah kepingin ikut bicara. “Waktu
itu, tak ada hujan tak ada angina, Gus Jakfar bilang kepada saya, ‘Wah, saku
sampeyan kok mondol-mondol; dapat proyek besar ya?’ Padahal saat itu saku saya
justru sedang kemps. Dan percaya atau tidak, esok harinya saya memenangkan
tender yang diselenggarakan Pemda tingkat propinsi.”
“Apa yang begitu itu disebut ilmu
kasyaf?” tanya Pak Carik yang sejak tadi hanya asyik mendengarkan.
“Mungkin saja,” jawab Ustadz Kamil. “Makanya saya justru takut ketemu Gus Jakfar. Takut dibaca tanda-tanda buruk saya, lalu pikiran saya terganggu.”
***
Maka, ketika kemudian sikap Gus Jakfar berubah, masyarakat pun geger; terutama para santri kalong, orang-orang kampung yang ikut mengaji tapi tidak tinggal di pesantren seperti Kang Solikin yang selama ini merasa dekat dengan beliau. Mula-mula Gus Jakfar menghilang berminggu-minggu, kemudian ketika kembali tahu-tahu sikapnya berubah menjadi manusia biasa. Dia sama sekali berhenti dan tak mau lagi membaca tanda-tanda. Tak mau lagi memberikan isyarat-isyarat yang berbau ramalan. Ringkas kata, dia benar-benar kehilangan keistimewaannya.
“Mungkin saja,” jawab Ustadz Kamil. “Makanya saya justru takut ketemu Gus Jakfar. Takut dibaca tanda-tanda buruk saya, lalu pikiran saya terganggu.”
***
Maka, ketika kemudian sikap Gus Jakfar berubah, masyarakat pun geger; terutama para santri kalong, orang-orang kampung yang ikut mengaji tapi tidak tinggal di pesantren seperti Kang Solikin yang selama ini merasa dekat dengan beliau. Mula-mula Gus Jakfar menghilang berminggu-minggu, kemudian ketika kembali tahu-tahu sikapnya berubah menjadi manusia biasa. Dia sama sekali berhenti dan tak mau lagi membaca tanda-tanda. Tak mau lagi memberikan isyarat-isyarat yang berbau ramalan. Ringkas kata, dia benar-benar kehilangan keistimewaannya.
“Jangan-jangan ilmu beliau hilang
pada saat beliau menghilang itu,” komentar Mas Guru Slamet penuh penyesalan.
“Wah, sayang sekali! Apa gerangan yang terjadi pada beliau?”
“Ke mana beliau pergi saat
menghilang pun, kita tidak tahu;” kata Lik Salamun. “Kalau saja kita tahu ke
mana beliau pergi, mungkin kita akan mengetahui apa yang terjadi pada beliau
dan mengapa beliau kemudian berubah.”
“Tapi, bagaimanapun ini ada
hikmahnya,” ujar Ustadz Kamil. “Paling tidak, kini kita bisa setiap saat
menemui Gus Jakfar tanpa merasa deg-degan dan was-was; bisa mengikuti
pengajiannya dengan niat tulus mencari ilmu. Maka, jangan kita ingin mengetahui
apa yang terjadi dengan gus kita ini hingga sikapnya berubah atau ilmunya
hilang, sebaiknya kita langsung saja menemui beliau.”
Begitulah, sesuai usul Ustadz
Kamil, pada malam Jum’at sehabis wiridan salat Isya, saat mana Gus Jakfar prei,
tidak mengajar; rombongan santri kalong sengaja mendatangi rumahnya. Kali ini
hampir semua anggota rombongan merasakan keakraban Gus Jakfar, jauh melebihi
yang sudah-sudah. Mungkin karena kini tidak ada lagi sekat berupa rasa segan,
was-was dan takut.
Setelah ngobrol ke sana kemari,
akhirnya Ustadz Kamil berterus terang mengungkapkan maksud utama kedatangan
rombongan: “Gus, di samping silaturahmi seperti biasa, malam ini kami datang
juga dengan sedikit keperluan khusus. Singkatnya, kami penasaran dan sangat
ingin tahu latar belakang perubahan sikap sampeyan.”
“Perubahan apa?” tanya Gus Jakfar sambil tersenyum penuh arti. “Sikap yang mana? Kalian ini ada-ada saja. Saya kok merasa tidak berubah.”
“Perubahan apa?” tanya Gus Jakfar sambil tersenyum penuh arti. “Sikap yang mana? Kalian ini ada-ada saja. Saya kok merasa tidak berubah.”
“Dulu sampeyan kan biasa dan suka
membaca tanda-tanda orang,” tukas Mas Guru Slamet, “kok sekarang tiba-tiba mak
pet, sampeyan tak mau lagi membaca, bahkan diminta pun tak mau.”
“O, itu,” kata Gus Jakfar seperti
benar-benar baru tahu. Tapi dia tidak segera meneruskan bicaranya. Diam agak
lama. Baru setelah menyeruput kopi di depannya, dia melanjutkan, “Ceritanya
panjang.” Dia berhenti lagi, membuat kami tidak sabar, tapi kami diam saja.
“Kalian ingat, saya lama
menghilang?” akhirnya Gus Jakfar bertanya, membuat kami yakin bahwa dia
benar-benar siap untuk bercerita. Maka serempak kami mengangguk. “Suatu malam
saya bermimpi ketemu ayah dan saya disuruh mencari seorang wali sepuh yang
tinggal di sebuah desa kecil di lereng gunung yang jaraknya dari sini sekitar
200 km kea rah selatan. Namanya Kiai Tawakkal. Kata ayah dalam mimpi itu, hanya
kiai-kiai tertentu yang tahu tentang kiai yang usianya sudah lebih 100 tahun
ini. Santri-santri yang belajar kepada beliau pun rata-rata sudah disebut kiai
di daerah masing-masing.”
“Terus terang, sejak bermimpi itu,
saya tidak bisa menahan keinginan saya untuk berkenalan dan kalau bisa berguru
kepada Wali Tawakkal itu. Maka dengan diam-diam dan tanpa pamit siapa-siapa,
saya pun pergi ke tempat yang ditunjukkan ayah dalam mimpi dengan niat
bilbarakah dan menimba ilmu beliau. Ternyata, ketika sampai di sana, hampir
semua orang yang saya jumpai mengaku tidak mengenal nama Kiai Tawakkal. Baru
setelah seharian melacak ke sana kemari, ada seorang tua yang memberi
petunjuk.”
‘Cobalah nakmas ikuti jalan
setapak di sana itu’ katanya. ‘Nanti nakmas akan berjumpa dengan sebuah sungai
kecil; terus saja nakmas menyeberang. Begitu sampai seberang, nakmas akan
melihat gubuk-gubuk kecil dari bambu. Nah, kemungkinan besar orang yang nakmas
cari akan nakmas jumpai di sana. Di gubuk yang terletak di tengah-tengah itulah
tinggal seorang tua seperti yang nakmas gambarkan. Orang sini memanggilnya Mbah
Jogo. Barangkali itulah yang nakmas sebut Kiai siapa tadi?’
‘Kiai Tawakkal.’
‘Ya, Kiai Tawakkal. Saya yakin
itulah orangnya, Mbah Jogo.’
“Saya pun mengikuti petunjuk orang
tua itu, menyeberang sungai dan menemukan sekelompok rumah gubuk dari bambu.”
“Dan betul, di gubuk bambu yang
terletak di tengah-tengah, saya menemukan Kiai Tawakkal alias Mbah Jogo sedang
dikelilingi santri-santrinya yang rata-rata sudah tua. Saya diterima dengan
penuh keramahan, seolah-olah saya sudah merupakan bagian dari mereka. Dan
kalian tahu? Ternyata penampilan Kiai Tawakkal sama sekali tidak mencerminkan
sosoknya sebagai orang tua. Tubuhnya tegap dan wajahnya berseri-seri. Kedua
matanya indah memancarkan kearifan. Bicaranya jelas dan teratur. Hampir semua
kalimat yang meluncur dari mulut beliau bermuatan kata-kata hikmah.”
Tiba-tiba Gus Jakfar berhenti,
menarik nafas panjang, baru kemudian melanjutkan, “Hanya ada satu hal yang
membuat saya terkejut dan tgerganggu. Saya melihat di kening beliau yang lapang
ada tanda yang jelas sekali, seolah-olah saya membaca tulisan dengan huruf yang
cukup besar dan berbunyi ‘Ahli Neraka’. Astaghfirullah! Belum pernah selama ini
saya melihat tanda yang begitu gambling. Saya ingin tidak mempercayai apa yang
saya lihat. Pasti saya keliru. Masak seorang yang dikenal wali, berilmu tinggi,
dan disegani banyak kiai yang lain, disurati sebagai ahli neraka. Tak mungkin.
Saya mencoba meyakin-yakinkan diri saya bahwa itu hanyalah ilusi, tapi tak
bisa. Tanda itu terus melekat di kening beliau. Bahkan belakangan saya melihat
tanda itu semakin jelas ketika beliau habis berwudhu. Gila!”
“Akhirnya niat saya untuk menimba
ilmu kepada beliau, meskipun secara lisan memang saya sampaikan demikian, dalam
hati sudah berubah menjadi keinginan untuk menyelidiki dan memecahkan
keganjialan ini. Beberapa hari saya amati perilaku Kiai Tawakkal, saya tidak
melihat sama sekali hal-hal mencurigakan. Kegiatan rutinnya sehari-hari tidak
begitu berbeda dengan kebanyakan kiai yang lain: mengimami salat jamaah;
melakukan salat-salat sunnat seperti dhuha, tahajjud, witir,dsb.; mengajar
kitab-kitab (umumnya kitab-kitab besar); mujahadah; dzikir malam; menemui tamu;
dan semacamnya. Kalaupun beliau keluar, biasanya untuk memenuhi undangan
hajatan atau- dan ini sangat jarang sekali- mengisi pengajian umum. Memang ada
kalanya beliau keluar pada malam-malam tertentu; tapi menurut santri-santri
yang lama, itu pun merupakan kegiatan rutin yang sudah dijalani Kiai Tawakkal
sejak muda. Semacam lelana brata, kata mereka.”
“Baru setelah beberapa minggu
tinggal di ‘pesantren bambu’, saya mendapat kesempatan atau tepatnya keberanian
untuk mengikuti Kiai Tawakkal keluar. Saya pikir, inilah kesempatan untuk
mendapatkan jawaban atas tanda tanya yang selama ini mengganggu saya.”
“Begitulah, pada suatu malam
purnama, saya melihat Kiai keluar dengan berpakaian rapi. Melihat waktunya yang
sudah larut, tidak mungkin beliau pergi untuk mendatangi undangan hajatan atau
lainnya. Dengan hati-hati saya membuntutinya dari belakang; tidak terlalu
dekat, tapi juga tidak terlalu jauh. Dari jalan setapak hingga ke jalan desa,
Kiai terus berjalan dengan langkah yang tetap tegap. Akan ke mana beliau
gerangan? Apa ini yang disebut semacam lelana brata? Jalanan semakin sepi; saya
pun semakin berhati-hati mengikutinya, khawatir tiba-tiba Kiai menoleh ke
belakang.”
“Setelah melewati kuburan dan
kebun sengon, beliau berbelok. Ketika kemudian saya ikut belok, saya kaget,
ternyata sosoknya tak kelihatan lagi. Yang terlihat justru sebuah warung yang
penuh pengunjung. Terdengar gelak tawa ramai sekali. Dengan bengong saya
mendekati warung terpencil dengan penerangan petromak itu. Dua orang wanita-
yang satu masih muda dan yang satunya lagi agak lebih tua- dengan dandanan yang
menor sibuk melayani pelanggan sambil menebar tawa genit ke sana kemari. Tidak
mungkin Kiai mampir ke warung ini, pikir saya. Ke warung biasa saja tidak
pantas, apalagi warung yang suasananya saja mengesankan kemesuman ini.
‘Mas Jakfar!’ tiba-tiba saya
dikagetkan oleh suara yang tidak asing di telinga saya, memanggil-manggil nama
saya. Masyaallah, saya hampir-hampir tidak mempercayai pendengaran dan
penglihatan saya. Memang betul, mata saya melihat Kiai Tawakkal melambaikan
tangan dari dalam warung. Ah. Dengan kikuk dan pikiran tak karuan, saya pun terpaksa
masuk dan menghampiri kiai yang saya yang duduk santai di pojok. Warung penuh
dengan asap rokok. Kedua wanita menor menyambut saya dengan senyum penuh arti.
Kiai Tawakkal menyuruh orang disampingnya untuk bergeser, ‘Kasi kawan saya ini
tempat sedikit!’ Lalu, kepada orang-orang yang ada di warung, Kiai
memperkenalkan saya. Katanya, ‘Ini kawan saya, dia baru datang dari daerah yang
cukup jauh. Cari pengalaman katanya’. Mereka yang duduknya dekat serta merta
mengulurkan tangan, menjabat tangan saya dengan ramah; sementara yang jauh
melambaikan tangan”.
“Saya masih belum sepenuhnya
menguasai diri, masih seperti dalam mimpi, ketika tiba-tiba saya dengar Kiai
menawari, ‘Minum kopi ya?!’ Saya mengangguk asal mengangguk. ‘Kopi satu lagi,
Yu!’ kata Kiai kepada wanita warung sambil mendorong piring jajan ke dekat
saya. ‘Silakan! Ini namanya rondo royal, tape goreng kebanggan warung ini!
Lagi-lagi saya hanya menganggukkan kepala asal mengangguk.”
“Kiai Tawakkal kemudian asyik
kembali dengan ‘kawan-kawan’-nya dan membiarkan saya bengong sendiri. Saya
masih tak habis pikir, bagaimana mungkin Kiai Tawakkal yang terkenal waliyullah
dan dihormati para kiai lain bisa berada di sini. Akrab dengan orang-orang
beginian; bercanda dengan wanita warung. Ah, inikah yang disebut lelana brata?
Ataukah ini merupakan dunia lain beliau yang sengaja disembunyikan dari
umatnya? Tiba-tiba saya seperti mendapat jawaban dari tanda tanya yang selama
ini mengganggu saya dan karenanya saya bersusah payah mengikutinya malam ini.
O, pantas di keningnya kulihat tanda itu. Tiba-tiba sikap dan pandangan saya
terhadap beliau berubah.”
‘Mas, sudah larut malam,’tiba-tiba
suara Kiai Tawakkal membuyarkan lamunan saya. ‘Kita pulang, yuk!’ Dan tanpa
menunggu jawaban saya, Kiai membayari minuman dan makanan kami, berdiri,
melambai kepada semua, kemudian keluar. Seperti kerbau dicocok hidung, saya pun
mengikutinya. Ternyata setelah melewati kebon sengon, Kiai Tawakkal tidak
menyusuri jalan-jalan yang tadi kami lalui. ‘Biar cepat, kita mengambil jalan
pintas saja!’ katanya.”
“Kami melewati pematang, lalu
menerobos hutan, dan akhirnya sampai di sebuah sungai. Dan, sekali lagi saya
menyaksikan kejadian yang menggoncangkan. Kiai Tawakkal berjalan di atas
permukaan air sungai, seolah-olah di atas jalan biasa saja. Sampai di seberang,
beliau menoleh ke arah saya yang masih berdiri mematung. Beliau melambai.
‘Ayo!’ teriaknya. Untung saya bisa berenang; saya pun kemudian berenang
menyeberangi sungai yang cukup lebar. Sampai di seberang, ternyata Kiai
Tawakkal sudah duduk-duduk di bawah pohon randu alas, menunggu. ‘Kita istirahat
sebentar,’ katanya tanpa menengok saya yang sibuk berpakaian. ‘Kita masih punya
waktu, insya Allah sebelum subuh kita sudah sampai pondok.’
Setelah saya ikut duduk di
sampingnya, tiba-tiba dengan suara berwibawa, Kiai berkata mengejutkan,
‘Bagaimana? Kau sudah menemukan apa yang kaucari? Apakah kau sudah menemukan
pembenar dari tanda yang kaubaca di kening saya? Mengapa kau seperti masih
terkejut? Apakah kau yang mahir melihat tanda-tanda menjadi ragu terhadap
kemahiranmu sendiri?’ Dingin air sungai rasanya semakin menusuk mendengar
rentetan pertanyaan beliau yang menelanjangi itu. Saya tidak bisa berkata
apa-apa. Beliau yang kemudian terus berbicara.
‘Anak muda, kau tidak perlu
mencemaskan saya hanya karena kau melihat tanda “Ahli Neraka” di kening saya.
Kau pun tidak perlu bersusah-payah mencari bukti yang menunjukkan bahwa aku
memang pantas masuk neraka. Karena, pertama, apa yang kau lihat belum tentu
merupakan hasil dari pandangan kalbumu yang bening. Kedua, kau kan tahu,
sebagaimana neraka dan sorga, aku adalah milik Allah. Maka terserah
kehendak-Nya, apakah Ia memasukkan diriku ke sorga atau neraka. Untuk
memasukkan hamba-Nya ke sorga atau neraka, sebenarnyalah Ia tidak memerlukan
alasan. Sebagai kiai, apakah kau berani menjamin amalmu pasti mengantarkanmu ke
sorga kelak? Atau kau berani mengatakan bahwa orang-orang di warung yang tadi
kau pandang sebelah mata itu pasti masuk neraka? Kita berbuat baik karena kita
ingin dipandang baik oleh-Nya, kita ingin berdekat-dekat dengan-Nya, tapi kita
tidak berhak menuntut balasan kebaikan kita. Mengapa? Karena kebaikan kita pun
berasal dari-Nya. Bukankah begitu?’
Aku hanya bisa menunduk. Sementara
Kiai Tawakkal terus berbicara sambil menepuk-nepuk punggung saya. ‘Kau harus
lebih berhati-hati bila mendapat cobaan Allah berupa anugerah. Cobaan yang
berupa anugerah tidak kalah gawatnya dibanding cobaan yang berupa penderitaan.
Seperti mereka yang di warung tadi; kebanyakan mereka orang susah. Orang susah sulit
kau bayangkan bersikap takabbur; ujub, atau sikap-sikap lain yang cenderung
membesarkan diri sendiri. Berbeda dengan mereka yang mempunyai kemampuan dan
kelebihan: godaan untuk takabbur dan sebagainya itu datang setiap saat. Apalagi
bila kemampuan dan kelebihan itu diakui oleh banyak pihak’
Malam itu saya benar-benar merasa
mendapatkan pemahaman dan pandangan baru dari apa yang selama ini sudah saya
ketahui.
‘Ayo kita pulang!’ tiba-tiba Kiai
bangkit. ‘Sebentar lagi subuh. Setelah sembahyang subuh nanti, kau boleh
pulang.’ Saya tidak merasa diusir; nyatanya memang saya sudah mendapat banyak
dari kiai luar biasa ini.”
“Ketika saya ikut bangkit, saya
celingukan. Kiai Tawakkal sudah tak tampak lagi. Dengan bingung saya terus
berjalan. Kudengar azan subuh berkumandang dari sebuah surau, tapi bukan surau
bambu. Seperti orang linglung, saya datangi surau itu dengan harapan bisa
ketemu dan berjamaah salat subuh dengan Kiai Tawakkal. Tapi, jangankan Kiai
Tawakkal, orang yang mirip beliau pun tak ada. Tak seorang pun dari mereka yang
berada di surau itu yang saya kenal. Baru setelah sembahyang, seseorang
menghampiri saya. ‘Apakah sampeyan Jakfar?’ tanyanya. Ketika saya mengiyakan,
orang itu pun menyerahkan sebuah bungkusan yang ternyata berisi barang-barang
milik saya sendiri. ‘Ini titipan Mbah Jogo, katanya milik sampeyan.’
‘Beliau di mana?’ tanya saya
buru-buru.
‘Mana saya tahu?’ jawabnya. ‘Mbah
Jogo datang dan pergi semaunya. Tak ada seorang pun yang tahu dari mana beliau
datang dan ke mana beliau pergi.’
Begitulah ceritanya. Dan Kiai
Tawakkal alias Mbah Jogo yang telah berhasil mengubah sikap saya itu tetap
merupakan misteri.”
Gus Jakfar sudah mengakhiri
ceritanya, tapi kami yang dari tadi suntuk mendengarkan masih diam tercenung
sampai Gus Jakfar kembali menawarkan suguhannya.
Rembang, Mei 2002