2 Maret 2006 16:36:10
Oleh:
A. Mustofa Bisri
Bermula dari kunjungan seorang
kawan lamanya Hardi. Pelukis yang capai mengikuti idealismenya sendiri lalu
mengikuti jejak banyak seniman yang lain: berbisnis; meski bisnisnya masih
dalam lingkup bidang yang dikuasainya. Seperti kebanyakan bangsanya, Hardi
sangat peka terhadap kehendak pasar. Dia kini melukis apa saja asal laku mahal.
Mungkin karena kecerdasannya, dia segera bisa menangkap kela-kuan zaman dan
mengikutinya. Dia melukis mulai perempuan cantik, pembesar negeri, hingga
kaligrafi.
Menurut Hardi, kedatangannya di
samping silaturrahmi, ingin berbincang-bincang dengan Ustadz Bachri soal
kaligrafi. Ustadz Bachri sendiri yang sedikit banyak mengerti soal kaligrafi
Arab, segera menyambutnya antusias.
Namun, ternyata tamunya itu lebih
banyak berbicara tentang aliran-aliran seni mulai dari naturalis, surealis,
ekpresionis, dadais, dan entah apa lagi. Tentang teknik melukis, tentang
komposisi, tentang perspektif, dan istilah-istilah lain yang dia sendiri baru
dengar kali itu. Sepertinya memang sengaja menguliahi Ustadz Bachri soal seni
dan khususnya seni rupa.
Yang membuat Ustadz Bachri agak
kaget, ternyata, meskipun sudah sering pameran kaligrafi, Hardi sama sekali tak
mengenal aturan-aturan penulisan khath Arab. Tak tahu bedanya Naskh dan
Tsuluts, Diewany dan Faarisy, atau Riq’ah dan Kufi. Apalagi falsafahnya.
Katanya dia asal “menggambar” tulisan, mencontoh kitab Quran atau kitab-kitab
bertulisan Arab lainnya. Dia hanya tertarik dengan makna ayat yang ia ketahui
lewat Terjemahan Quran Departemen Agama, lalu dia tuangkan ayat itu ke dalam
kertas atau kanvas. Bila ayat itu berbicara tentang penciptaan langit dan bumi,
maka dia pun melukis pemandangan, lalu di atasnya dituliskan ayat yang
bersangkutan. Kalau tidak begitu, dia tulis ayat yang dipilihnya dalam
bentuk-bentuk tertentu yang menurutnya sesuai dengan makna ayat. Ada hurufnya
yang ia bentuk seperti mega, burung, macan, tokoh wayang, dan sebagainya.
Ustadz Bachri bersyukur atas
kedatangan kawannya yang -meskipun agak sok- telah memberinya wawasan mengenai
kesenian, terutama seni rupa.
***
***
RINGKAS cerita, begitu si tamu
berpamitan seperti biasa Ustadz Bachri mengiringkannya sampai pintu. Nah,
sebelum keluar melintasi pintu rumahnya itulah si tamu tiba-tiba berhenti
seperti terkejut. Matanya memandang kertas bertulisan Arab yang tertempel di
atas pintu, lalu katanya, “Itu tulisan apa? Siapa yang menulis?”
Ustadz Bachri tersenyum, “Itu
rajah. Saya yang menulisnya sendiri.”
“Rajah?”
“Ya, kata Kiai yang memberi
ijazah, itu rajah penangkal jin.”
“Itu kok warnanya aneh; sampeyan
menulis pakai apa?” Matanya tanpa berkedip terus memandang ke atas pintu.
“Pakai kalam biasa dan tinta cina
dicampur sedikit dengan minyak za’faran. Katanya minyak itu termasuk syarat
penulisan rajah.”
“Wah,” kata tamunya masih belum
melepas pandangannya ke tulisan di atas pintu, “sampeyan mesti melukis
kaligrafi.”
“Saya? Saya melukis kaligrafi?”
katanya sambil tertawa spontan.
“Tidak. Saya serius ini,” tukas
tamunya, “sampeyan mesti melukis kaligrafi. Goresan-goresan sampeyan
berkarakter. (“Ini apa pula maksudnya?” Ustadz Bachri membatin, tak paham).
Kalau bisa di atas kanvas. Tahu kanvas kan?! Betul ya. Tiga bulan lagi,
kawan-kawan pelukis kaligrafi kebetulan akan pameran; Nanti sampeyan ikut. Ya,
ya!”
Ustadz Bachri tidak bisa
berkata-kata, tapi rasa tertantang muncul dalam dirinya. Kenapa tidak,
pikirnya. Orang yang tak tahu khath saja berani memamerkan kaligrafinya,
mengapa dia tidak? Namun, ketika didesak tamunya, dia hanya mengangguk asal
mengangguk.
Setelah tamunya itu pergi, dia
benar-benar terobsesi untuk melukis kaligrafi. Setiap kali duduk-duduk
sendirian, dia oret-oret kertas, menuliskan ayat-ayat yang ia hapal. Dia buka
kitab-kitab tentang khath dan sejarah perkembangan tulisan Arab. Bahkan dia
memerlukan datang ke kota untuk sekadar melihat lukisan-lukisan yang dipajang
di galeri dan toko-toko, sebelum akhirnya dia memutuskan untuk membeli kanvas,
cat, dan kuas.
Anak-anak dan istrinya agak
bingung juga melihat dia datang dari kota dengan membawa oleh-oleh peralatan
melukis. Lebih heran lagi ketika dia jelaskan bahwa dialah yang akan melukis.
Meski mula-mula istri dan anak-anaknya mentertawakan, namun melihat
keseriusannya, ramai-ramai juga mereka menyemangati. Mereka dengan riang ikut
membantu membereskan dan membersihkan gudang yang akan dia pergunakan untuk
“sanggar melukis”.
Mungkin tidak ingin diganggu atau
malu dilihat orang, Ustadz Bachri memilih tengah malam untuk melukis. Istri dan
anak-anaknya pun biasanya sudah lelap tidur, saat dia mulai masuk ke gudang
berkutat dengan cat dan kanvas-kanvasnya. Kadang-kadang sampai subuh, dia baru
keluar. Di gudangnya yang sekarang merangkap sanggar itu, berserakan beberapa
kanvas yang sudah belepotan cat tanpa bentuk. Di antaranya sudah ada yang
sedemikian tebal lapisan catnya, karena sering ditindas. Karena begitu dia
merasa tidak sreg dengan lukisannya yang hampir jadi, langsung ia tindas dengan
cat lain dan memulai lagi dari awal. Hal itu terjadi berulang kali. “Ternyata
sulit juga melukis itu,” katanya suatu ketika dalam hati, “enakan menulis pakai
kalam di atas kertas.”
Hampir saja Ustadz Bachri putus
asa. Tapi, istri dan anak-anaknya selalu melemparkan pertanyaan-pertanyaan atau
komentar-komentar yang kedengaran di telinganya seperti menyindir nyalinya.
Maka, dia pun bertekad, apa pun yang terjadi harus ada lukisannya yang jadi
untuk diikutkan pameran.
Sampai akhirnya, ketika seorang kurir yang dikirim oleh Hardi kawannya itu, datang mengambil lukisannya untuk pameran yang dijanjikan, dia hanya-atau, alhamdulillah, sudah berhasil-menyerahkan sebuah “lukisan”.
Sampai akhirnya, ketika seorang kurir yang dikirim oleh Hardi kawannya itu, datang mengambil lukisannya untuk pameran yang dijanjikan, dia hanya-atau, alhamdulillah, sudah berhasil-menyerahkan sebuah “lukisan”.
Ketika sang kurir menanyakan judul
lukisan dan harga yang diinginkan, seketika dia merasa seperti diejek. Tapi
kemudian dia hanya mengatakan terserah. “Bilang saja kepada Mas Hardi, terserah
dia!” katanya.
Dia sama sekali tidak menyangka.
***
***
MESKIPUN ada rasa malu dan rendah
diri, dia datang juga pada waktu pembukaan pameran untuk menyenangkan kawannya
Hardi, yang berkali-kali menelepon memaksanya datang. Ternyata pameran-di mana
“lukisan” tunggalnya diikutsertakan-itu diselenggarakan di sebuah hotel
berbintang. Wah, rasa malu dan rendah dirinya pun semakin memuncak.
Dengan kikuk dan sembunyi-sembunyi
dia menyelinap di antara pengunjung. Dari kejauhan dilihatnya Hardi
berkali-kali menoleh ke kanan ke kiri. Mungkin mencari-cari dirinya. Ada
pidato-pidato pendek dan sambutan tokoh kesenian terkenal, tapi dia sama sekali
tidak bisa tenang mendengarkan, apalagi menikmatinya. Dia sibuk mencari-cari
“lukisan”-nya di antara deretan lukisan-lukisan kaligrafi yang di pajang yang
rata-rata tampak indah dan mempesona. Apalagi dipasang sedemikian rupa dengan
pencahayaan yang diatur apik untuk mendukung tampilan setiap lukisan. “Apakah
lukisanku juga tampak indah di sini?” pikirnya, “di mana gerangan lukisanku itu
dipasang?”
Sampai akhirnya, ketika acara
pidato-pidato usai dan para pengunjung beramai-ramai mengamati lukisan-lukisan
yang dipamerkan, dia yang mengalirkan diri di antara jejalan pengunjung, belum
juga menemukan lukisannya. Tiba-tiba terbentik dalam kepalanya “Jangan-jangan
lukisanku diapkir, tidak diikutkan pameran, karena tidak memenuhi standar.”
Aneh, mendapat pikiran begitu, dia tiba-tiba justru menjadi tenang. Dia pun
tidak lagi menyembunyikan diri di balik punggung para pengunjung. Bahkan, dia
sengaja mendekati sang Hardi yang tampak sedang menerang-nerangkan kepada
sekerumunan pengunjung yang menggerombol di depan salah satu lukisan. Lukisan
itu sendiri hampir tak tampak olehnya tertutup banyak kepala yang sedang
memperhatikannya.
“Lha ini dia!” tiba-tiba Hardi
berteriak ketika melihatnya. Dia jadi salah tingkah dilihat oleh begitu banyak
orang, “Ini pelukisnya!” kata Hardi lagi, lalu ditujukan kepada dirinya,
“Kemana saja sampeyan. Sudah dari tadi ya datangnya? Sini, sini. Ini, bapak ini
seorang kolektor dari Jakarta, ingin membeli lukisan sampeyan.” Astaga,
ternyata lukisan yang dirubung itu lukisannya. Dia lirik tulisan yang terpampang
di bawah lukisan yang menerangkan data lukisan. Di samping namanya, dia
tertarik dengan judul (yang tentu Hardi yang membuatkan): Alifku Tegak di
Mana-mana. Wah, Hardi ternyata tidak hanya pandai melukis, tapi pandai juga
mengarang judul yang hebat-hebat, pikirnya. Di kanvasnya itu memang hanya ada
satu huruf, huruf alif. Lebih kaget lagi ketika dia membaca angka dalam
keterangan harga. Dia hampir tidak mempercayai matanya: 10.000 dollar AS,
sepuluh ribu dollar AS! Gila!
“Begitu melihat lukisan Anda, saya
langsung tertarik;” tiba-tiba si bapak kolektor berkata sambil menepuk bahunya,
“apalagi setelah kawan Anda ini menjelaskan makna dan falsafahnya. Luar biasa!”
Dia tersipu-sipu. Hardi
membisikinya, “Selamat, lukisan sampeyan dibeli beliau ini!”
“Katanya, Anda baru kali ini ikut
pameran,” kata si bapak kolektor lagi tanpa memperhatikan air mukanya yang
merah padam, “teruskanlah melukis dari dalam seperti ini.”
(“Melukis dari dalam? Apa pula
ini?” pikirnya)
Wartawan-wartawan menyuruhnya
berdiri di dekat lukisan alifnya itu untuk diambil gambar. Dia benar-benar
salah tingkah. Pertanyaan-pertanyaan para wartawan dijawabnya sekenanya. Mau
bilang apa?
Besoknya hampir semua media massa
memuat berita tentang pameran yang isinya hampir didominasi oleh liputan
tentang dirinya dan lukisannya. Hampir semua koran, baik ibu kota maupun
daerah, melengkapi pemberitaan itu dengan menampilkan fotonya. Sayang dalam
semua foto itu sama sekali tidak tampak lukisan alifnya. Yang terlihat hanya
dia sedang berdiri di samping kanvas kosong!
Beberapa hari kemudian, beberapa
wartawan datang ke rumah Ustadz Bachri. Bertanya macam-macam tentang lukisan
alifnya yang menggemparkan. Tentang proses kreatifnya, tentang bagaimana dia
menemukan ide melukis alif itu, tentang prinsip keseniannya, dlsb. Seperti
ketika pameran dia asal menjawab saja.
Ketika makan siang, istri dan
anak-anaknya ganti mengerubutinya dengan berbagai pertanyaan tentang lukisan
alifnya itu pula.
“Kalian ini kenapa, kok
ikut-ikutan seperti wartawan?!” teriaknya kesal.
“Tidak pak, sebenarnya apa sih
menariknya lukisan Bapak? Kok sampai dibeli sekian mahalnya?” tanya anak
sulungnya.
“Kenapa sih Bapak hanya menulis
alif?” tanya si bungsu sebelum dia sempat menjawab pertanyaan kakaknya,
“mengapa tidak sekalian Bismillah, Allahu Akbar, atau setidaknya Allah, seperti
umumnya kaligrafi yang ada?”
Istrinya juga tidak mau kalah
rupanya. Tidak sabar menunggu dia menjawab pertanyaan-pertanyaan anak-anaknya.
“Terus terang saja, Mas, sampeyan
menggunakan ilmu apa, kok lukisanmu sampai tidak bisa difoto?”
Ustadz Bachri geleng-geleng
kepala. Kepada para wartawan dan orang lain, dia bisa tidak terus terang, tapi
kepada keluarganya sendiri bagaimana mungkin dia akan menyembunyikan sesuatu.
Bukankah dia sendiri yang mengajarkan dan memulai tradisi keterbukaan di rumah.
“Begini,” katanya sambil
menyantaikan duduknya; sementara semuanya menunggu penuh perhatian,
“terus terang saja; saya sendiri
sama sekali tidak menyangka. Kalian tahu sendiri, saya melukis karena dipaksa
Hardi, tamu kita yang pelukis itu. Saya merasa tertantang.”
“Saya sendiri baru menyadari bahwa
meskipun saya menguasai kaidah-kaidah khath, ternyata melukis kaligrafi tidak
semudah yang saya duga. Apalagi, kalian tahu sendiri, sebelumnya saya tidak
pernah melukis. Lihatlah, di gudang kita, sekian banyak kanvas yang gagal saya
lukisi. Bahkan, saya hampir putus-asa dan akan memutuskan membatalkan
keikutsertaan saya dalam pameran. Tapi, Hardi ngotot mendorong-dorong saya
terus.”
“Lalu, ketika cat-cat yang saya
beli hampir habis, saya baru teringat pernah melihat dalam pameran kaligrafi
dalam rangka MTQ belasan tahun yang lalu, seorang pelukis besar memamerkan
kaligrafinya yang menggambarkan dirinya sedang sembahyang dan di atas kepalanya
ada lafal Allah. Saya pun berpikir mengapa saya tidak menulis Allah saja?”
Ustadz Bachri berhenti lagi,
memperbaiki letak duduknya, baru kemudian lanjutnya, “Ketika saya sudah siap
akan melukis, ternyata cat yang tersisa hanya ada dua warna: warna putih dan
silver. Tetapi, tekad saya sudah bulat, biar hanya dengan dua warna ini,
lukisan kaligrafi saya harus jadi. Mulailah saya menulis alif. Saya merasa
huruf yang saya tulis bagus sekali, sesuai dengan standar huruf Tsuluts Jaliy.
Namun, ketika saya pandang-pandang letak tulisan alif saya itu persis di
tengah-tengah kanvas. Kalau saya lanjutkan menulis Allah, menurut selera saya
waktu itu, akan jadi wagu, tidak pas. Maka, ya sudah, tak usah saya lanjutkan.
Cukup alif itu saja.”
“Jadi, tadinya Bapak hendak
menulis Allah?” sela si bungsu.
“Ya, niat semula begitu. Yang saya
sendiri kemudian bingung, mengapa perhatian orang begitu besar terhadap lukisan
alif saya itu. Saya juga tidak tahu apa yang dikatakan Hardi kepada kolektor
dari Jakarta itu, tetapi dugaan saya dialah yang membuat lukisan saya bernilai
begitu besar. Termasuk idenya memberi judul yang sedemikian gagah itu.”
“Tetapi, sampeyan belum menjawab
pertanyaan saya,” tukas istrinya, “sampeyan menggunakan ilmu apa, sehingga
lukisan sampeyan itu ketika difoto tidak jadi dan yang tampak hanya kanvas
kosong yang diberi pigura?”
“Wah, kamu ini ikut-ikutan
mempercayai mistik ya?! Ilmu apa lagi? Saya tadi kan sudah bilang, alif itu
saya lukis hanya dengan dua warna yang tersisa. Sedikit putih untuk latar dan
sedikit silver untuk huruf alifnya. Mungkin, ya karena silver di atas putih itu
yang membuatnya tak tampak ketika difoto.”
Istri dan anak-anaknya tak
bertanya-tanya lagi; tetapi Ustadz Bachri tak tahu apa mereka percaya
penjelasannya atau tidak. *
0 komentar:
Posting Komentar