Malam
yang mulai diselubungi selimut kesunyian, mulai mengantar mata-mata yang lelah untuk segera menjamah alam
mimpi. Semilir angin yang sesekali berhembus, menghumbar dingin yang mencekat. Di sebuah rumah sederhana di
perempatan mimpi, begitulah orang menyebutnya, perempatan mimpi. Karena di
perempatan itu mereka seperti bermimpi, tepatnya ketika mereka masuk dan
bergumul dengan para penghuni rumah. Satu persatu para manusia itu datang, lalu
pulang dengan membawa gandengan masing-masing. Tawa selalu terukir di setiap
langkah mereka.
Saat
mereka benar-benar telah
masuk dan bergumul dengan penghuni rumah itu, tentu pandangan mereka akan
tertuju pada sosok gadis cantik nan rupawan. Bibirnya yang merah merekah,
indah. Bulu lentik serta sorot matanya yang tajam selalu mengudang para kumbang
jantan untuk segera mencicipi madunya. Suaranya yang merdu dan khas, mampu
memberi ketenangan hati-hati yang gelisah. Desahan lirihnya bak iringan musik
dari para Bidadari.
Gadis
itu tampak tenang, duduk di kursi sudut yang mulai tampak kusam sambil sesekali
mengumbar senyum kepada para tamu-tamu yang berdatangan di rumah sederhana
kediamannya. Tak jarang para tamu yang ingin mengajaknya, tapi dengan senyum
yang dikulum manja gadis ayu itu berkata.
“
Maaf Mas, sudah ada yang pesan! “ sebuah jawaban singkat yang berarti segera
menyuruh untuk mencari gadis lain yang juga tinggal serumah dengannya. Gadis
itu kembali tersenyum seraya mengarahkan sorot bening bola matanya ke seluruh
penjuru ruangan. Cahaya remang-remang menghiasi sekitar, berteman dengan
para manusia yang sudah sibuk dengan nafsu mereka, mencari dan memilah apa yang mereka inginkan.
Hanya cahaya lampu neon 10 watt yang menerangi rumah sederhana itu,
suasana malam yang memang sengaja dibuat khas dan berbeda dengan rumah-rumah
sederhana lainnya.
Senyum
yang sembari tadi merekah,
dan dikulum manja, lenyap
seketika, seiring jari-jari lentiknya yang menjamah sebungkus rokok filter
didepannya, lalu menyulutnya. Asap rokok membumbung
tinggi di udara, bibir merah itupun mendesis lirih, menikmati hisapan demi
hisapan rokoknya. Asap yang terus mengepul semakin meninggi, mencoba keluar
dari rumah sederhana yang penuh sesak dengan para manusia yang tengah berteman
dengan nafsu mereka.
Gadis
itu segera menoleh ke belakang,
saat menyadari seseorang datang ke arahnya. Tangannya masih asyik bermain
dengan rokok filter yang sudah hampir habis terbakar
Merah masih bermuara di ujung rokok, dengan
asap yang terus mengepul. Gadis ayu itupun tersenyum, sambil sesekali mengusap
kulit putihnya yang kedinginan diterpa angin yang merebos lewat celah-celah
pintu yang sedikit terbuka.
“
Ayu tamumu sudah datang !” ujar Tante Mira yang bertugas mengasuh para gadis
perempatan mimpi, mungkin lebih umum di sebut si Bunga Malam atau kupu-kupu
malam. Dan Tante Mira-lah
yang bertugas mencarikan pelanggan untuk gadis-gadis perempatan mimpi. Bahkan
Tante Mira-lah yang selama
ini telah mengasuh Ayu, membesarkan Ayu dengan kasih sayang.
Namun
terkadang ada sesal yang terpendam di dalam hati ayu. Ada rasa bersalah yang terus memburunya “
Kenapa aku harus hidup dalam dunia nista ini ?” Sebuah pertanyaan yang sering hadir dalam kesendirian. Pertanyaan yang selalu membuat air
matanya meleleh. Ayu hanya bisa terpekur dalam duka, saat sadar kini dia hidup di dunia yang
selalu membuat hatinya meronta-ronta mengingkari semua yang telah terjadi dalam
hidupnya. Ada
serpihan-serpihan kecil yang selalu menyeruak dalam hatinya, membawa duka, membuatnya mencoba mengusir
semua duka dengan senyum ke-munafikan.
Mendengar
panggilan Tante Mira, Ayu
yang sembari tadi duduk tenang di kursi bersama ke empat temannya langsung
berdiri, menampakkan tubuh indah yang selalu menjadi pemuas nafsu-nafsu yang
berkeliaran. Ayu tersenyum manja.“ Iya Tante, mana orangnya?” balas Ayu seraya meletakkan puntung rokoknya di atas asbak. Di balik
senyum Ayu, ada duka yang
tiba-tiba menyelinap masuk dalam celah pintu hatinya, seperti angin malam ini, yang masuk dan menyelinap lewat
celah pintu tempat para manusia-manusia hidung belang memuaskan nafsunya. Naudzubillah!.
“
Sebentar!,” Tante Mira kembali keluar ruangan.” Tapi ingat, jangan sampai mengecewakan ya, !” suara
Tante Mira yang manja masih terngiang di telinga Ayu, sesaat sebelum bayangan Tante Mira hilang
di balik pintu yang sedikit terbuka.
“
Sip !!” Ayu mengacungakan
jempolnya..
“
Ayo silahkan!” Tante Mira
memanggil seseorang yang sembari tadi berada di luar ruangan. Bunyi decitan hak
sepatu perlahan mendekat ke arah Ira, beriringan dan hampir bersamaan.
Ira
tertunduk. Senyumannya hilang
sudah. “ Deg !”ada sesak yang tiba-tiba merasuk dalam dada Ayu saat bola
matanya yang indah bertatapan dengan lelaki yang akan manikmati tubuh mulusnya
malam ini. Ada ketidakrelaan
yang sangat besar, bukan karena lelaki itu jelek atau tidak tampan, atau uang
bayaran yang mungkin kurang memuaskan, bukan itu! Ada sesuatu yang terpancar dari kedua bola mata lelaki itu. Sebuah
kekuatan yang tak pernah Ayu jumpai selama ini, kekuatan yang sepertinya telah
hilang dari dirinya sejak Ayu kecil. Ayu termangu.
“
Rido!” lelaki itu mengenalkan diri seraya menampakkan senyum sepuluh sentinya..
Rambut panjangnya tersisir rapi, kemeja hitam dan celana jeans hitam di
padu sepatu dengan kaos kaki bermotif lurik bergitu sesuai dengan .tubuh tegap, serta kulitnya yang putih, sangat
ideal. Jam tangan hitam melingkar di tangan kirinya dengan lengan baju yang di
singsingkan di atas siku.
“
Senyum nafsu!” gumam Ayu.“Ayu Lestari! Ehm…panggil saja Ayu !.” lanjut Ayu
cepat-cepat memperkenalkan diri takut pelanggannya kecewa. Ayu terus memasang
senyum manjanya. Memang begitulah tugas sebagai wanita malam, tersenyum,
mamasang wajah yang menarik pelanggan, dan setelah harga cocok, langsung keluar untuk memuaskan nafsu-nafsu bejat mereka.
Setelah
selang beberapa menit mereka berkenalan. Akhirnya mereka telah mencapai
kesepakatan. Rido akan membayar berapapun asal Ayu bisa memuaskannya malam ini.
Ayu tersenyum penuh keyakinan, karena hampir setiap pelanggannya selalu merasa
puas, bahkan mereka sering
datang kembali, dan selalu
Ayu yang menjadi sasaran utama mereka, tapi ada serpihan duka yang tersirat di
hati Ayu saat Rido kembali menatapnya lembut. Ayu tertunduk menahan gemuruh di
dalam hatinya.
****
Malam
semakin larut. Rido masih mengendarai mobil BMW-nya tanpa memperdulikan Ayu
sedikitpun. Semenjak keluar dari rumah sederhana di perempatan mimpi, tiba-tiba
raut wajah Rido yang tampak sumringah berubah sedih. Ada mendung yang bergelantungan di sekitar
wajahnya yang putih. Ayu terus mengamati perubahan pada raut wajah Rido. Sebuah
perubahan yang sempat membuat sesak di dada Ayu. Ayu terkejut, sesak kembali
menyerang saat dia melihat tetes bening mengalir membasahi pipi Rido. Ayu
terdiam, ada hal aneh yang
membuat dadanya semakin sesak. Bukan ketakutan, atau kesedihan, sesuatu yang
aneh. Ayu memejamkan matanya. Mencoba mengusir segala kegalauan yang kini
melanda hati.
“
Malam ini aku ingin kamu memuaskan semua permintaanku.!” Suara Rido yang
tiba-tiba membubarkan lamunan Ayu. Rido menatap Ayu tajam dari kaca spion
mobil.
“Iya
! Itu memang tugasku.” balas Ayu tersenyum ramah,
mencoba menyembunyikan sesak yang kembali menyerang dadanya, Ia kembali
terdiam, suasana hening kembali tercipta saat Ayu menerawang jauh ke luar
jendela, menghujamkan pandangan di rumah dan pepohonan yang terlihat seperti
berlarian, saling berkejaran, sedangkan
mobil yang di kendarai Rido masih terus melaju melintasi jalanan yang mulai
tampak sepi.
“Kita
mau kemana ? Bukankah lebih
enak di hotel itu” ujar Ayu bingung. Pandangannya masih tertuju di hotel mewah
yang berada di pinggir jalan. Perlahan bayangan hotel itupun hilang, seiring roda mobil yang terus
berputar menjauh beriring dengan
kegelapan malam.
“
Ini adalah tempat yang paling indah.
Bersabarlah... sebentar lagi
kita sampai.”
“
Oh ya,indah ! Tentu aku akan bersabar, karena aku milikmu malam ini” balas Ayu
selembut mungkin agar tidak menyingung perasaan Rido, pelanggan tubuhnya malam
ini.
“
Kenapa?” Ayu tampak heran saat Rido tiba-tiba menghentikan mobilnya.
“
Kita sudah sampai!” balas Rido seraya membuka pintu mobilnya. Ayu-pun keluar beriringan dengan Rido.
“
What di surau, rumah Allah, apakah kamu sudah gila, kita akan di laknat
jika melakukan hal dosa di tempat suci ini!” Ayu berteriak tidak percaya, suara
lembut yang sembari tadi keluar berganti suara ketidakpercayaan.
“
Iya disini, ! Malam ini aku
ingin kamu melayani majikanku.”
“Apa
majikanmu,? Jadi bukan kamu.?” Ayu heran.
Rido
mengganguk.” Tunggu sebentar,!”
Rido berlalu meninggalkan Ayu yang masih tercekang. Rasa tak percaya dengan apa
yang di alaminya malam ini masih berputar di benaknya, berbagai pertanyaan
terus hadir tanpa jawaban.
Rido
masuk kedalam surau bercat putih yang tampak sunyi lekang. Hanya suara hewan
malam yang sesekali menyeling di antara derap langkah kaki Rido. Ayu heran, memandang bayangan Rido yang lenyap di balik pintu surau.
Ayu
tertunduk. Angannya semakin tak menentu, lalu terbang jauh, menjamah
kemungkinan apa yang akan di alaminya malam ini.
“
Ini!” Rido mengulurkan sebuah
mukena, tasbih dan sajadah kepada Ayu. Suara Rido yang tiba-tiba, dan keras, membubarkan lamunan Ayu. Ayu tercekang, rasa nyeri yang barusan
hilang kembali terasa, justru terasa semakin nyeri dan membuat dadanya sesak.
Nafasnya sedikit tersengal-sengal, naik turun tak beraturan. Ayu terdiam, ada sesuatu yang aneh malam ini.
“
Kamu mau kemana?” Ayu bertanya kepada Rido yang melangkah masuk kedalam
mobilnya.
“
Sudah jangan banyak Tanya !. Kamu layani saja majikanku malam ini. Dan bilang
pada majikanku supaya mengampuni semua salah, dan dosa yang pernah aku lakukan, jangan lupa.?!” balas Rido tersenyum ramah, senyum yang
penuh tanda Tanya.
“
Lalu….!” Ayu tak melanjutkan kata-katanya karena Rido telah melesat jauh
meninggalkannya sendiri.
“
Apa ini,?” Ayu tampak
bingung. Ada
sesak yang kembali menyeruak dalam hatinya, tapi sesak ini semakin terasa di
seluruh tubuhnya. Ayu Manahan sesak itu seraya terus mengamati inci tiap inci
surau yang menjadi pemberhentiannya malam ini, bukanya hotel atau rumah mewah
yang setiap hari menjadi pemberhentiannya untuk melayani laki-laki hidung
belang. Tapi malam ini surau inilah yang menjadi tempat pemberhentian
terakhirnya. Ayu teringat dia harus segera melayani majikan Rido, jika dia
tidak bisa memuaskannya tentu Tante Mira akan marah.
“Tes!” tiba-tiba air mata Ayu meleleh membasahi pipinya yang putih
kemerah-merahan, senyum yang sembari tadi tersungging hilang seketika, ada
sesal yang telah terlupa, tertutup gemerlap duniawi. Ayu tersadar akan jalan
hitam yang selama ini telah dia lalui, jalan penuh dengan dosa yang tak terampunkan.
Ayu
tahu, kini bukanlah tubuhnya yang akan dia jual, dia sadar kini tubuhnya
tiadalah berharga. Bahkan dia tidak akan mampu melayani dan memuaskan majikan
Rido. Tidak sama sekali. Karena majikan Rido tidak membutuhkan apapun yang di
miliki Ayu, justru Ayu-lah
yang membutuhkan majikan Rido. Membutuhkan kasih sayang dan belaian rahmat-Nya
Ada sesuatu yang menyeruak memanggil nama Ayu pelan, menggiring langkahnya
masuk kedalam masjid. Sedangkan air mata Ayu terus meleleh mengiringi tiap
langkah penyesalan Ayu.
“
Ya Allah ampuni hamba!” gumam Ayu menyebut asma Dzat yang telah lama Dia
lupakan, Dzat yang telah menciptakannya dengan tubuh indah yang telah salah dia
gunakan. Dengan dada yang terasa semakin sesak Ayu masuk kedalam masjid,
bayangan tubuhnya lenyap di
balik pintu masjid.
Dalam
sujud aku berdoa
Berserah
akan takdir hidup…
Walau
dosa ini tak terampunkan..
Aku
akan tetap bersujud..
Memelas
dan memohon..
dan
terus memohon
Karena
aku tahu…
Engkau
maha pengampun.
Ampuni
hambamu yang hina ini Ya Allah.
SD
Darussalam, 14 mei 2010 jam 17.35 WIS.
0 komentar:
Posting Komentar